BEIJING, SELASA — Universitas Teknologi Elektro Guilin, Guangxi, China, berencana menggeledah tas dan peranti elektronik, seperti telepon genggam, komputer, cakram keras (hard disk) eksternal, dan flash disk, milik staf dan mahasiswanya. Temuan rencana berupa kopian surat edaran dan dibocorkan di dunia maya, Selasa (20/11/2018), ini mengundang kekhawatiran akan semakin ketatnya kontrol terhadap hak-hak individu warga di China.
Rencana ini juga dikhawatirkan akan sama dengan taktik yang digunakan pada kelompok minoritas Muslim di Xinjiang, China barat. Penggeledahan untuk peranti elektronik seperti itu sudah biasa dilakukan di Xinjiang, daerah yang mayoritas berpenduduk Muslim, dengan alasan untuk mencegah kerusuhan. Namun, praktik itu tidak pernah dilakukan sebelumnya di daerah lain, seperti Guangxi, daerah wisata yang terkenal dengan keindahan pemandangan alamnya.
”Xinjiang menjadi seperti laboratorium pengawasan China. Tidak mengejutkan kalau metode yang tadinya digunakan di wilayah barat China sekarang dipraktikkan di daerah lain juga,” kata pakar politik etnis China dan identitas nasional di La Trobe University, Australia, James Leibold.
Pemerintah China, di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, dalam beberapa tahun terakhir memperketat kontrol terhadap opini publik di dunia maya dan perpolitikan di kampus-kampus. Surat edaran atau pemberitahuan yang bocor dari Guilin itu berisi peringatan bahwa ada kelompok-kelompok di dalam negeri yang ”secara tidak sopan menyebarkan video ilegal dan melanggar hukum” melalui internet.
Pemerintah China, di bawah kepemimpinan Xi Jinping, memperketat kontrol terhadap opini publik di dunia maya dan politik di kampus-kampus.
Disebutkan pula di dalam surat itu bahwa pencarian terhadap materi-materi kekerasan, teroris, tidak senonoh, dan menentang kemajuan itu harus dilakukan untuk menangkal dan melawan rekaman-rekaman kelompok ekstremis.
Bocoran surat yang kemudian diunggah di situs Weibo, media sosial buatan China yang berbentuk seperti Twitter, itu sudah ditonton lebih dari 80 juta kali. Editorial berbagai media massa di pemerintah provinsi juga menyuarakan protes bahwa surat perintah penggeledahan itu melanggar hak konstitusional warga China akan perlindungan terhadap kebebasan bersuara dan berpendapat dan kerahasiaan komunikasi.
”Kampus harus bertanggung jawab karena ini mencederai citra sekolah,” sebut editorial di harian Beijing Youth Daily.
Hingga kini belum diketahui latar belakang Universitas Teknologi Elektro Guilin mengeluarkan rencana penggeledahan itu. Ada dugaan rencana itu sekadar uji coba untuk mengetahui reaksi publik atau bisa jadi pemerintah lokal yang terlalu bersemangat.
Apa pun alasannya, reaksi kemarahan masyarakat jelas menunjukkan bahwa rakyat tidak bisa menerima langkah-langkah pembatasan ekstrem seperti itu.
Sekolah-sekolah di Xinjiang sudah mempraktikkan metode serupa sejak pengadilan tinggi Xinjiang pada awal 2014 mengeluarkan larangan rekaman suara dan video yang menyiarkan materi yang mendukung terorisme, ekstremisme agama, dan perbedaan etnis. Dosen dan pengelola Normal University’s College of Physics and Electronics, Xinjiang, menggeledah peranti elektronik di semua asrama kampus pada 9 November 2014.
Pada 2017, cabang kampus China University of Petroleum di Karamay, kota di Xinjiang, memerintahkan fakultas-fakultasnya untuk menggeledah semua komputer milik dosen. Xinjiang merupakan kawasan yang mayoritas berpenduduk Uighur, kelompok etnis Muslim. Kawasan itu pula yang sering digempur aparat keamanan China untuk menekan separatis Uighur. (AP)