Greenpeace “Kawal” Stolt Tenacity hingga Rotterdam
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski otoritas Pemerintah Spanyol telah membebaskan enam aktivis Greenpeace yang beraksi damai di atas kapal Stolt Tenacity, organisasi lingkungan tersebut tetap melanjutkan aksi. Greenpeace dengan menggunakan kapal patroli Esperanza mengikuti pergerakan kapal pembawa minyak sawit tersebut ke tujuan akhir di Rotterdam, Belanda.
Mereka ingin membawa pesan kepada dunia internasional untuk menghindari sawit yang bersumber dari deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia. ”Ini kami berjarak 2 mil dari Stolt Tenacity, masih terlihat kapalnya,” kata Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Asia Tenggara, Selasa (20/11/2018), ketika dihubungi menumpang kapal Esperanza. Mereka diperkirakan tiba di Rotterdam pada 23 atau 24 November 2018.
Seperti diberitakan, pada Sabtu, 17 November 2018, enam aktivis Greenpeace dari Indonesia, Perancis, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Kanada nekat memanjat kapal tanker Stolt Tenacity di Teluk Cadiz, dekat perairan Spanyol.
Mereka mengibarkan spanduk bertuliskan ”Save our Rainforest” (Selamatkan Hutan Hujan Kita) dan ”Drop Dirty Palm Oil” (Hentikan Minyak Sawit Kotor) di bagian kapal sepanjang 185 meter tersebut. Selama lebih dari 33 jam, para aktivis ini ditahan di dalam kapal dan akhirnya dibawa ke Algeciras, wilayah otoritas Spanyol.
Di situ, para aktivis dibebaskan karena pihak kapal tidak melayangkan tuntutan. Meski demikian, aksi tidak berhenti di situ. Stolt Tenacity tetap dibuntuti Esperanza hingga kini.
Kenapa Greenpeace mengikuti Stolt Tenacity? ”Kami ingin memberi tahu ke jasa pelayanan transportasi tanker seperti ini bahwa kalian harus sadar kalau membawa produk dari deforestasi sehingga turut berkontribusi pada deforestasi itu juga,” tuturnya.
Kami ingin memberi tahu ke jasa pelayanan transportasi tanker seperti ini bahwa kalian harus sadar kalau membawa produk dari deforestasi sehingga turut berkontribusi pada deforestasi itu juga.
Pernyataan Kiki tersebut terkait laporan Greenpeace beberapa waktu lalu yang menempatkan Wilmar (penghasil minyak sawit) dan Mondelez (pengguna minyak sawit dari Wilmar) terkait kerusakan 70.000 hektar hutan di Asia Tenggara dalam dua tahun akibat perkebunan sawit. Mereka mengklaim menemukan bukti keterkaitan kebakaran hutan, mempekerjakan anak, eksploitasi pekerja, penebangan ilegal, dan perampasan tanah dalam praktik industri ini.
Salah satu rantai transportasi minyak sawit itu memakai kapal Stolt Tenacity dari Dumai, Riau, menuju Rotterdam, Belanda. Selain beraksi di atas Stolt Tenacity, pada September lalu Greenpeace juga beraksi di Bitung dengan menaiki kilang minyak sawit Wilmar (Multi Nabati Sulawesi) di Bitung, Sulawesi Utara.
Dalam pernyataan resmi, Senin, Wilmar International sangat kecewa terhadap Greenpeace yang masih mengedepankan aksi berbahaya di muka publik ketimbang bekerja sama yang bersifat membangun dengan pemangku kepentingan industri kelapa sawit, termasuk Wilmar. Menurut pihak Wilmar, aksi protes berbahaya Greenpeace di lepas pantai Spanyol tersebut juga ditujukan kepada seluruh industri minyak kelapa sawit.
MP Tumanggor, Komisaris Wilmar, yang ditunjuk menjadi kutipan pernyataan resmi Wilmar menyatakan, tanker tersebut bukan milik Wilmar. Hanya sebagian dari total kargo yang diangkut Stolt Tenacity merupakan milik Wilmar.
Terkait substansi kampanye ini, Tumanggor mengatakan pernyataan Greenpeace yang menyebut minyak sawit sebagai minyak kotor mengabaikan fakta tidak ada komoditas pertanian lain yang mampu menyaingi kelapa sawit terkait isu keberlanjutan, termasuk pencegahan deforestasi.
Ia pun menyebut minyak nabati sawit paling produktif dan serba guna di dunia. Sawit mampu memproduksi lima kali lebih banyak minyak nabati per hektar per tahun dibandingkan dengan minyak nabati lain, seperti rapeseed dan kedelai.
Deforestasi
”Kampanye negatif terhadap industri minyak sawit justru dapat mengakibatkan deforestasi lebih besar secara global melalui perluasan lahan komoditas sumber minyak nabati lain,” ujarnya seraya mengklaim besarnya kontribusi minyak sawit pada pengentasan warga dari kemiskinan dengan penciptaan lapangan kerja dan infrastruktur di negara berkembang.
Wilmar telah berulang kali mengajak Greenpeace, ini pun diakui Kiki Taufik, untuk bekerja sama dengan industri minyak sawit dalam mencari solusi pragmatis bagi berbagai tantangan yang masih dihadapi industri kelapa sawit.
Menurut pihak Wilmar, dampak terbesar dari aksi destruktif Greenpeace akan dirasakan petani yang memasok 40 persen minyak kelapa sawit dunia. ”Dengan berkampanye melawan minyak sawit, taktik Greenpeace telah merugikan petani terutama saat harga minyak sawit dunia rendah,” kata Tumanggor.
Sementara pihak Greenpeace menegaskan, aksi mereka bukan menunjukkan anti terhadap sawit. ”Yang kami perangi itu deforestasi. Sawit kotor itu sawit yang dihasilkan dari deforestasi dan human abuse,” kata Kiki.
Ia pun mengatakan belum melihat aksi dan rencana nyata serta terukur dari Wilmar untuk mengatasi isu-isu deforestasi. Greenpeace mendesak keterbukaan Wilmar terkait data dan peta perkebunan serta industri hingga level grup sebagai bentuk keseriusan perusahaan yang bermarkas di Singapura tersebut.