Tunda Sidang Berulang Kali, Jaksa Agung Disomasi LBH
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat melayangkan somasi kepada Jaksa Agung, Senin (19/11/2018) pagi. Alasannya, sejumlah jaksa dinilai merugikan banyak pihak dengan menunda persidangan berulang kali.
Persidangan kasus yang menyeret Sadikin Arifin, terdakwa kasus peredaran gelap narkotika, ditunda selama enam minggu. Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Ma’ruf Bajammal mengatakan, penundaan didasarkan pada alasan yang tidak jelas. Selain itu, menurut Ma’ruf, jaksa Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak sanggup menghadirkan bukti rekaman percakapan yang dapat membuktikan tuduhan terhadap kliennya.
Menurut dia, penundaan ini berpotensi memberi dampak negatif. Pasalnya, sidang pembacaan tuntutan belum berjalan, sedangkan masa penahanan terdakwa akan habis pada 5 Desember 2018. Sementara itu, pihaknya sebagai tim penasihat hukum terdakwa harus menyiapkan nota pembelaan (pleidoi). Ma’ruf khawatir sidang akan berlangsung terburu-buru dan vonis yang dijatuhkan tidak proporsional.
Akan banyak korban lain dengan sistem penegakan hukum seperti ini. Kami ajukan somasi agar ada perbaikan sikap dari jaksa, hakim, dan lainnya. Penegakan hukum yang baik dan benar tidak seperti ini.
”Akan banyak korban lain dengan sistem penegakan hukum seperti ini. Kami ajukan somasi agar ada perbaikan sikap dari jaksa, hakim, dan lainnya. Penegakan hukum yang baik dan benar tidak seperti ini,” kata Ma’ruf dalam jumpa pers di Jakarta.
Sadikin Arifin ditangkap oleh anggota Badan Narkotika Nasional pada Maret 2018 di Jakarta Utara. Saat itu, ia sedang bekerja menjadi penerjemah untuk seorang warga negara Taiwan yang berkunjung ke Indonesia. Sadikin mendampingi WN Taiwan itu untuk mengambil barang di sebuah perumahan di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Barang tersebut rupanya berupa sabu seberat sekitar 51 kilogram yang dimasukkan ke dalam dua koper hitam.
Selain Sadikin, seorang sopir taksi daring juga turut ditahan. Dalam penangkapan tersebut, WNA Taiwan tersebut meninggal karena ditembak mati oleh petugas.
Sebelumnya, penundaan sidang pernah dua kali dialami oleh LBH Masyarakat. Pertama, sidang salah satu kliennya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara ditunda selama lima minggu berturut-turut. Kedua, sidang terdakwa kasus narkotika, Santa, juga dinilai berlarut-larut. Akibatnya, tim penasihat hukum hanya memiliki waktu 30 menit untuk menyiapkan pleidoi. Namun, Santa divonis hukuman mati pada hari yang sama setelah pleidoi dibacakan.
Dugaan pelanggaran
Menurut Peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Joshua Collins, ada dugaan pelanggaran dalam sidang perkara Sadikin Arifin. Dugaan pelanggaran itu bersifat materiel dan etik. Ada tiga hal yang ditemukan MaPPI selama menjadi pemantau sidang kasus ini.
Pertama, salah satu sidang Sadikin Arifin ditunda melalui sambungan telepon. Padahal, penundaan sidang hanya dapat diputuskan oleh majelis hakim pada sidang yang terbuka untuk umum. Penundaan sidang pun harus disertai alasan yang jelas.
Kedua, sidang ditunda hingga enam kali. Menurut Pasal 50 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seorang tersangka atau terdakwa dapat menjalani proses hukum dengan segera. Hal ini termasuk menjalani sidang tanpa penundaan yang tak beralasan.
Ketiga, jaksa menyatakan ketidaksanggupannya untuk menghadirkan barang bukti yang diminta oleh tim penasihat hukum Sadikin. Hal ini kontradiktif dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. UU tersebut menyatakan, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi untuk keperluan proses peradilan. Permintaan itu hanya dapat disampaikan oleh jaksa, polisi, atau penyidik.
Tim penasihat hukum Sadikin, Raynov T Pamintori Gultom, mengatakan, penundaan sidang tanpa alasan yang jelas harus menjadi catatan perbaikan. Hal itu juga harus disertai dengan keseriusan jaksa untuk mencari fakta-fakta obyektif. Pasalnya, terdakwa dihadapkan pada ancaman hukuman mati.
”Dengan ancaman hukuman mati, seharusnya mereka (jaksa) melakukan proses penyidikan dan penuntutan secara serius. Cari informasi-informasi penting dengan detail. Jangan sampai klien kami yang dibawa ke persidangan salah divonis,” kata Raynov. ”Semoga ini (somasi) bisa menjadi perhatian Jaksa Agung untuk memperbaiki birokrasinya,” katanya.
Tinjauan yuridis
Selain mengajukan somasi, tim penasihat hukum terdakwa Sadikin Arifin juga mengajukan tinjauan yuridis atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Menurut rencana, sidang perdana untuk pemeriksaan pendahuluan akan dilakukan pada Rabu (21/11/2018).
Tinjauan yuridis ini terkait dengan UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Selama ini, hanya jaksa, polisi, dan penyidik yang punya akses untuk menghadirkan bukti rekaman percakapan ke persidangan. Namun, pada sidang Sadikin, bukti rekaman percakapan yang dapat membuktikan dirinya tidak bersalah tidak pernah dihadirkan di persidangan.
”Kebenaran materiil persidangan bisa hilang jika tidak dilakukan secara serius. Seharusnya kami, tim penasihat hukum terdakwa, juga diberi hak untuk mengakses rekaman percakapan. Itu bisa dihadirkan sebagai pembelaan dalam persidangan,” kata Ma’ruf. (SEKAR GANDHAWANGI)