Koalisi Warga Menduga Ada Kriminalisasi di Pulau Pari
Oleh
Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
Kompas
Wisatawan naik perahu mengeliling terowongan mangrove di Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta, Jumat (16/10). Kompas/Agus Susanto
JAKARTA, KOMPAS – Koalisi Selamatkan Pulau Pari menduga ada kriminalisasi ke sejumlah warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Mereka mendesak oknum aparat setempat yang melakukan kriminalisasi menghentikan aksinya.
“Upaya kriminalisasi yang dilakukan adalah melemahkan gerakan warga yang menolak perampasan lahan korporasi maupun konglomerat yang ada,” kata Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nelson Nikodemus Simamora, Minggu (18/11/2018).
Catatan Nelson, dugaan kriminalisasi oleh oknum aparat setempat sudah terjadi tiga kali di Pulau Pari. Dalam waktu dekat, koalisi akan melaporkan tindakan itu pihak berwajib. Kriminalisasi pertama menimpa Edi Priadi. Ia dituduh menyerobot tanah milik PT Bumi Pari Asri sehingga harus mendekam di penjara. Kriminalisasi berikutnya terjadi pada tiga nelayan pengelola pariwisata swakelola di Pulau Pari. Adapun kriminalisasi ketiga, kata Nelson, dituduh melakukan pemerasan sebesar Rp 5.000 untuk uang retribusi pariwisata Pantai Perawan. Mereka diputus bebas oleh Pengadilan Tinggi Jakarta karena tuduhan itu tidak terbukti.
Upaya ketiga terjadi pada mantan Ketua RW 004 Pulau Pari, Sulaiman. Ia dituduh menyewakan tanah dan memasuki lahan milik orang lain. Tuduhan itu diputuskan tidak terbukti pada 13 November 2018. Sebelumnya, berita acara pemeriksaan (BAP) saksi yang dapat meringankan Sulaiman hilang dari berkas perkara.
Koalisi Selamatkan Pulau Pari berencana untuk melaporkan pihak-pihak yang melakukan upaya kriminalisasi. Pihak yang dimaksud adalah Kepolisian Resor Kepulauan Seribu dan jaksa pada sidang Sulaiman. “Dalam waktu dekat kami akan laporkam. Polisi dan jaksa yang melakukan tindakan itu (kriminalisasi) harus diberikan sanksi. Kami meminta kepada Kapolri untuk memberi sanksi tersebut,” kata Nelson.
SEKAR GANDHAWANGI UNTUK KOMPAS
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Nelson Nikodemus Simamora, Minggu (18/11/2018).
Malaadministrasi
Warga Pulau Pari dituduh menyerobot lahan milik korporasi yang memiliki sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan (SHGB). Padahal, warga telah menempati Pulau Pari sejak zaman dahulu. Sementara itu, menurut laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman, ada malaadministrasi pada sertifikat itu. Tercatat ada 76 sertifikat, yaitu 62 SHM dan 14 SHGB.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Marthin Hadiwinata mengatakan, upaya kriminalisasi bertentangan dengan hasil pemeriksaan Ombudsman. Menurutnya, sertifikat-sertifikat itu harus dicabut, sebab ada prosedur yang dilewati untuk mengeluarkan sertifikat, yaitu pengukuran tanah. Padahal, pengukuran tanah wajib dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Selama ini, masyarakat menempati lahan di Pulau Pari secara turun temurun. Kini, masyarakat Pulau Pari mengelola sumber daya alam dan potensi pariwisata secara swadaya. Tercatat ada sekitar 1.300 orang di pulau tersebut.
SEKAR GANDHAWANGI UNTUK KOMPAS
Ketua Forum Peduli Pulau Pari Sahrul Hidayat (kiri) dan Sulaiman (kanan), Minggu (18/11/2018).
“Gubernur DKI Jakarta harus memberi kepastian penuh pada Pulau Pari. Langkah-langkah khusus untuk melindungi dan mengakui pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat juga harus dilakukan. Dengan ini, masyarakat punya dasar hukum,” kata Marthin.
Hal serupa dikatakan oleh Ketua Forum Peduli Pulau Pari Sahrul Hidayat. Ia mengatakan, penduduk telah lebih dulu menempati Pulau Pari, sedangkan korporasi baru menempati Pulau Pari pada sekitar 2014. Ia berharap, Pemprov DKI Jakarta dapat memberi legalitas atas hak tanah masyarakat.
Ancaman
Perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Fatilda mengatakan, potensi kriminalisasi masih ada. Ada sekitar 66 rumah warga Pulau Pari yang tumpang tindih dengan lahan bersertifikat milik korporasi. Dengan itu, warga masih rawan dikriminalisasi.
“Selain itu, sekarang ada tiga warga yang dipanggil menjadi saksi atas kasus penyerobotan tanah. Ada dua warga lain yang sudah disomasi. Mereka dalam posisi rawan karena sebelumnya, Sulaiman juga dijadikan saksi dan akhirnya dijadikan tersangka,” kata Fatilda.
Keberadaan masyarakat Pulau Pari sebenarnya sudah dijamin oleh undang-undang yang berlaku, seperti Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam undang-undang itu, rakyat dijamin untuk menguasai dan memanfaatkan tanah dengan optimal.
Selain itu, perlindungan warga Pulau Pari juga dijamin dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Menurut Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia Marthin Hadiwinata, pengelolaan pesisir oleh masyarakat setempat telah diakui oleh undang-undang.
“Selain itu, privatisasi pulau juga tidak dibenarkan. Ini ada dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010,” katanya. (SEKAR GANDHAWANGI)