Evaluasi Standar Pendidikan untuk Cegah Radikalisasi
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Lemahnya standar pendidikan dinilai menjadi celah masuknya radikalisasi atau pandangan ekstremisme berbasis agama. Penguatan nilai-nilai kebangsaan hingga pembentukkan peraturan pendidikan harus dikerjakan bersama.
Pembahasan ini mengemuka dalam dialog kebijakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil dan sejumlah kemitraan di Jakarta, Senin (19/11/2018). Dialog tersebut dihadiri sejumlah lembaga swadaya masyarakat serta beberapa perwakilan lembaga legislatif.
Badan Standar Nasional Pendidikan menetapkan delapan standar pendidikan, yaitu mengenai kurikulum, proses pendidikan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, kompetensi lulusan, pembiayaan, dan penilaian. Lima standar yang disebutkan pertama dinilai terkait langsung dengan proses masuknya radikalisasi dan intoleransi beragama.
Konteks tersebut dikaitkan dengan pengamatan hasil survei dan penemuan berbagai produk kebijakan pendidikan beberapa tahun terakhir. Seperti survei terbaru tentang intoleransi dan radikalisme oleh guru sekolah, yang dikerjakan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Survei dilakukan pada 6 Agustus sampai 6 September 2018 dan diikuti 2.237 guru Muslim untuk semua mata pelajaran, dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas di 34 provinsi.
Dari survei, sebanyak 50 persen guru tercatat memiliki opini intoleran. Bahkan, 46,09 persennya memiliki opini radikal. Sementara itu, guru yang memiliki kecenderungan aksi inteloran sebanyak 37,77 persen dan 41,26 persen yang radikal.
Melansir dari laman ppim.uinjkt.ac.id, salah satu faktor pemicu hal tersebut adalah pandangan Islamis. Ini disimpulkan dari 40,36 persen guru yang setuju bahwa pedoman agama membuat mereka tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu yang bersumber dari Barat.
Merampung dari berbagai hasil survei lainnya dan sejumlah analisis, ditemukan bahwa pengagamaan kurikulum 2013 dan Kurikulum Revisi 2016 melemahkan standar pendidikan pertama, yaitu kurikulum. Adanya poin kompetensi inti terkait spiritual dan sosial dinilai multiinterprestasi sehingga memicu kerancuan.
Masalah tersebut juga muncul karena proses tarik-menarik pendidikan agama dan pendidikan Pancasila di sekolah. Hal tersebut antara lain dipengaruhi perpolitikan di Indonesia, utamanya antara kelompok Islam dan nasionalis.
“Kita harus kembali lagi kepada konsep ideologi Pancasila. Pendidikan agama juga jangan dilegitimasi untuk kepentingan sendiri atau kelompok, bagaimana pun nilai agama itu harus praktikkan,” ujar Nur Arif dari Kafkaf Foundation.
Penguatan ideologi Pancasila pada guru atau dosen, termasuk dan lembaga sertifikasi pengajar juga perlu dimasukkan dalam standar pendidikan yang mengatur kualitas tenaga pendidik. “Mencetak murid berkualitas, harus dimulai dari gurunya,” imbuh Arif.
Kurikulum sekolah harus ajarkan toleransi
Pada kesempatan tersebut, Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Lena Maryana Mukti berpendapat, kurikulum sekolah harus mengajarkan toleransi. Pengajaran bertoleransi tidak hanya dengan teori, namun dengan praktik melalui program pembauran untuk mempertemukan kelompok sosial yang berbeda.
“Saya akan sampaikan ini ke Komisi X DPR (yang melingkupi pendidikan). Tentang ancaman bahaya radikalisme dalam dunia pendidikan, akan kami buatkan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), supaya ini tidak hanya sebatas diskusi kemitraan,” pungkasnya.
Peraturan untuk memperkuat standar dan nilai pendidikan bukan hanya peran kementerian terkait atau lembaga legislatif, melainkan juga peran pemerintah daerah. Komisi Nasional Perempuan menemukan, sejak 2009 hingga 2016 terdapat 421 kebijakan diskriminatif yang di antaranya masuk dalam ranah pendidikan.
Beberapa kebijakan yang dinilai diskriminatif melingkupi tata nilai dengan simbolisasi agama, seperti dalam aturan berbusana di sekolah, hingga standar guru untuk dapat diterima ke sekolah berbasis agama. (ERIKA KURNIA)