Vivi Membuat Hidup Berarti
Vivi Zubedi membawa tenun pagatan dan sasirangan hilir mudik di atas landasan peraga dalam ajang New York Fashion Week. Bukan sekadar ingin mengisahkan tentang keindahan motifnya kepada dunia, perancang busana mode modest ini juga ingin mengangkat kehidupan tangan-tangan terampil para pembuatnya.
Di usianya sekarang yang sekitar 30 tahun, Vivi merasa masanya mengejar profit sudah lewat. Ia ingin merasa lebih bermakna dan bermanfaat bagi orang lain. Nasib ibu-ibu yang kurang beruntung dalam industri tenun pagatan dan sasirangan mendesak-desak kalbunya untuk melakukan sesuatu.
Awalnya Vivi diminta oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk memberi jasa konsultasi tentang kiat mengangkat potensi daerah, seperti pariwisata, kain tradisional, dan produk kuliner. Banyak potensi, tetapi mereka tak mampu menjualnya.
”Saya lihat di lapangan. Ibu- ibu yang kerja di bagian memutus benang, upahnya hanya Rp 500 per 2,5 meter kain. Yang menggambar Rp 1.000 per lembar kain. Saya tanya, cukup enggak untuk hidup? Jawabnya kalau mau cukup harus mengerjakan 50 lembar sehari supaya dapat Rp 25.000. Kan kasihan, hampir tak ada istirahatnya, tidak bisa menikmati kehidupan,” kata Vivi.
Meski upahnya sangat kecil, para ibu itu tetap mengambil pekerjaan tersebut karena tidak ada pilihan lainnya. Namun, rendahnya apresiasi menyebabkan pekerjaan pun digarap tanpa inovasi.
”Dengan murahnya jasa, bagaimana motifnya mau berkembang. Yang penting pekerjaan cepat selesai dan menerima bayaran kecil itu. Tidak heran jika kain ini belum ’kedengaran’,” ujar perempuan berlatar belakang ilmu bidang akuntansi ini.
Vivi kemudian memutuskan mengambil tenun pagatan dan sasirangan sebagai material koleksi terbarunya saat itu. Koleksi yang diberi judul ”Banua Borneo” tersebut kemudian ditampilkan di panggung dunia lewat ajang New York Fashion Week musim gugur/dingin pada bulan Februari 2018.
”Kepada mandor-mandor kain di sana saya bilang, kalau kainnya mau saya ambil, kamu harus naikkan upah buruhmu beberapa kali lipat. Jadi waktu itu, kami sepakat buruh cabut benang yang semula upahnya Rp 500 naik menjadi Rp 15.000, yang menggambar naik menjadi Rp 20.000 per lembar kain,” kata anak kedua dari lima bersaudara ini.
Sebenarnya, ada juga juragan yang memberi imbalan layak kepada buruhnya, yakni Rp 10.000, Rp 15.000, hingga Rp 20.000 per lembar kain. Namun, jumlahnya hanya segelintir. Lebih banyak yang memberikan upah rendah kepada para pekerja.
Dari pengalaman itu, Vivi melihat permasalahan lebih luas, yakni nasib pekerja dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Beruntung kemudian ia digandeng oleh Bank Indonesia untuk membangun proyek rintisan Ikra (Industri Kreatif Indonesia). Lewat yayasannya, Vivi Zubedi Foundation menyiapkan sistem dan BI mengimplementasikannya.
”Swag”
Program ini untuk sementara akan mengangkat UMKM di bidang mode dan makanan. Vivi menyusun model sistem agar mudah digunakan oleh pelaku UMKM di bidang pemasaran, kemasan, laporan keuangan, dan lainnya. Saat ini, ia tengah berkeliling ke berbagai provinsi untuk menyosialisasikan program ini dan menjaring UMKM yang berminat.
”Produk UMKM binaan Ikra nantinya berorientasi ekspor. Kami sedang membangun aplikasi dan website, nantinya sebagai jembatan antara UMKM dan buyer (pembeli). Namun, sebelum itu, UMKM-nya kami bina dulu supaya produknya berstandar ekspor dan mereka mampu mengemas dan menjualnya dengan baik,” kata Vivi yang mengungkapkan Ikra akan diluncurkan secara resmi dalam waktu dekat.
Siang mulai meninggi. Suasana kafe tempat kami membuat janji bertemu semakin ramai. Vivi membuka rangkapan luar (outer) panjang yang melapisi padanan blus dan kulot lebarnya yang bermotif floral warna-warni.
Sebelumnya, selama sesi foto berlangsung, Vivi tidak bersedia membuka kacamata hitamnya. Katanya, ia ingin mempromosikan bahwa busana modest juga bisa terlihat modern.
”Di luar tuh, mereka tahunya busana muslim itu kuno. Jadi, saya menembak pasar dengan pendekatan street style, dipadukan dengan kacamata hitam besar. Hasilnya, mereka bilang tampilan baju-baju saya swag (keren),” kata Vivi.
Ibu tiga anak ini merintis bisnis busana muslim sejak 2011. Ia tidak bersekolah mode khusus, tetapi mengambil kelas privat tiga bulan dengan penjahit yang mengajarinya membuat pola, memotong, dan menjahit. Kini, ia memiliki lebih dari 30 pegawai, baik dari bisnis mode maupun bisnis lain yang dikerjakannya bersama suami yang juga seorang anggota DPR selama tiga periode.
Tak banyak yang dibicarakan Vivi tentang kehidupan pribadi karena ia ingin menjaga privasinya bersama keluarga. Akun media sosialnya lebih banyak menampilkan karya profesionalnya di bidang mode.
Senang bisnis
Semasa kuliah, Vivi yang berbakat di bidang bisnis pernah berdagang baju yang ia beli di Malaysia dan Singapura. Baju-baju itu ia jual di bagasi belakang mobilnya sehingga disebut butik berjalan.
”Saya belanja sebulan sekali ke Malaysia atau Singapura. Waktu itu di Medan belum banyak butik sehingga baju-baju saya enggak ada saingannya. Saya keliling ke kampus-kampus. Misalnya, hari Senin saya di kampus saya di fakultas ekonomi, besok ke fakultas kedokteran dan seterusnya. Informasinya saya sebar lewat SMS atau BBM,” ujar perempuan berdarah campuran Yaman dan Irak tersebut.
Berjalan setahun, ia mulai berpikir mengapa tak membuat merek busana sendiri. Setelah mempelajari dasar menjahit, ia mempekerjakan dua tukang jahit untuk membantunya. Hingga kini, Vivi masih menangani sendiri desain baju-bajunya.
Semasa kuliah, Vivi juga memiliki salon kecantikan yang ia rintis sejak di bangku SMA. Ia belajar potong rambut, mewarnai, dan smoothing. Dalam seminggu, ia memberi waktu dua hari untuk melayani pelanggannya. Sisanya dilayani oleh pegawai-pegawainya.
”Dalam satu hari saya bisa melayani belasan pelanggan. Sampai-sampai saya juga buka salon lagi di rumah, ada pegawainya juga. Bahkan, sampai akhirnya saya menikah dan pindah ke Jakarta, kalau pulang ke Medan, masih banyak yang minta potong sama saya. Kalau sekarang sih enggak mungkin lagi dengan kesibukan seperti ini,” katanya.
Keahlian Vivi yang dikenal adalah mewarnai rambut dengan warna ash atau abu-abu kehijauan yang konon saat itu hanya bisa dilakukan sebuah salon ternama di Medan serta salon Vivi.
Perempuan lulusan jurusan akuntansi ini juga dikenal aktif. Ia beberapa kali mewakili kampusnya menjadi pembicara dalam ajang Indonesia-Malaysia- Thailand Growth Triangle untuk pemuda. Ia juga sangat tertarik pada kerajinan (craft).
Hidup berarti
Sebagai desainer, Vivi memilih mengangkat labelnya melalui New York Fashion Week (NYFW) karena ajang itu ia nilai sebagai ”bom nuklir”-nya mode. Ia akui, untuk bisa menembus ajang tersebut, selain harus melalui kurasi ketat juga butuh dana tidak sedikit. Namun, hasilnya sesuai dengan harapan. Produknya kini dikenal pembeli dan retailer yang juga menangani merek-merek besar.
Selain tiga kali NYFW yang ia ikuti, Vivi juga pernah mengikuti ajang pekan mode di London dan Singapura. Baju-bajunya kini diekspor ke beberapa negara di Eropa, Timur Tengah, dan Amerika Serikat. Cita-citanya adalah menduniakan produk Indonesia.
”Kalau kita bisa bangga pakai tas dari Spanyol, baju dari Paris, kenapa tidak sebaliknya,” kata Vivi yang juga memproduksi sepatu, aksesori, dan kacamata.
Dengan pencapaiannya kini, Vivi ingin hidupnya semakin berarti dan bermanfaat bagi orang banyak. Pengalamannya bersama ibu-ibu buruh tenun menjadi titik balik. Menurut Vivi, masa- masanya mencari profit sudah lewat. Kini, waktunya ia meluaskan peran dengan membantu sesama.
Vivi Zubedi
Lahir: 17 April 1988
Pendidikan:
- S-1 Akuntansi Universitas Sumatera Utara
Pengalaman:
- Pendiri label busana Vivi Zubedi
- Pendiri Vivi Zubedi Foundation
- Pendiri Ikra Indonesia