BANGKOK, JUMAT — Rancangan Undang-Undang Keamanan Siber Thailand dinilai berlebihan dan sangat mengancam privasi. Pemerintah menyatakan sedang membahas revisi dan menampung masukan publik.
Dalam RUU yang sudah dibuat, pemerintah diberi kewenangan besar untuk memata-matai lalu lintas internet, memerintahkan penghapusan konten, atau bahkan menyita komputer tanpa proses hukum. Hal ini mengundang protes dan keprihatinan dari berbagai lapisan masyarakat.
Kantor berita Reuters, Jumat (16/11/2018), memberitakan, protes antara lain dilakukan oleh aktivis pembela kebebasan rakyat sipil, perusahaan-perusahaan internet, dan kelompok bisnis. Yang mengkhawatirkan, RUU tampaknya sudah memasuki tahap penyelesaian dan diperkirakan akan disetujui sebelum akhir tahun.
RUU menyebutkan pembentukan badan baru Komite Keamanan Siber Nasional (NCSC) yang mempunyai akses ke komputer pribadi atau perusahaan swasta. NCSC juga bisa menyalin informasi dan masuk ke properti pribadi tanpa perintah pengadilan. Sanksi kejahatan akan diterapkan bagi mereka yang tidak mematuhi. Bahkan, lembaga baru NCSC ini bisa menginterogasi orang atau perusahaan dan memaksa mereka untuk memberi informasi kepada pihak lain.
”Kebijakan keamanan siber harus menghormati privasi dan penegakan hukum,” kata Dewan Bisnis AS dan ASEAN dalam suratnya kepada Pemerintah Thailand.
Perusahaan teknologi raksasa Google, Apple, Facebook, dan Amazone adalah anggota dari Dewan tersebut. Perusahaan kelompok Asia Internet Coalition (AIC) di Singapura yang mewakili empat perusahaan raksasa Amerika Serikat dan tujuh perusahaan besar internet lain juga mengingatkan kemungkinan hengkangnya bisnis-bisnis di Thailand jika peraturan itu diterapkan.
Somsak Khaosuwan, pejabat dari Kementerian Ekonomi Digital yang bertanggung jawab terhadap RUU tersebut, mengatakan, pemerintah tengah membahas revisi. Menurut Khaosuwan, tidak ada yang perlu ditakutkan. ”Ketentuan itu akan sesuai dengan standar internasional.
Sutee Tuvirat, ahli keamanan siber, mengkhawatirkan begitu luasnya kewenangan NCSC tanpa pengawasan dan regulasi. ”Jika ada yang lebih berkuasa dari perdana menteri, ya ini dia,” katanya.
Takut sensor
Arthit Suriyawongkul, seorang pengacara hak-hak warga Thai Netizen Network RUU, siap memfasilitasi sensor. ”Ketentuan itu tidak menggolongkan data yang mungkin termasuk konten online dan tidak meliputi tindakan perlindungan,” katanya.
Asosiasi Telekomunikasi Thailand dan Asosiasi Penyedia Jasa Layanan Internet dalam penyataan bersama menyatakan kekhawatiran terhadap upaya pemerintah untuk ”mengatur konten”.
Data dari perusahaan-perusahaan internet menunjukkan, permintaan pemerintah untuk menurunkan konten atau informasi semakin meningkat beberapa tahun belakangan.
Ketika Raja Bhumibol Adulyadej wafat tahun 2016, misalnya, pemerintah mengancam mengadili para pengguna Facebook jika mengunggah sesuatu yang tak sesuai.
Pada semester pertama tahun 2018, Facebook menghapus 285 konten, hampir semua dituduh melanggar hukum penghinaan terhadap raja. Tahun lalu jumlah yang dihapus sebanyak 385 konten atau sepuluh kali lipat dari tahun 2014. Facebook untuk pertama kalinya menyerahkan data kepada pemerintah tahun 2017.
Google juga mendapat permintaan sama. Pertengahan tahun 2014 hingga akhir 2017, militer telah mengajukan 386 permintaan untuk menghapus 9.986 materi. Hampir semua materi yang diminta dihapus merupakan kritik terhadap pemerintah.
Perusahaan teknologi informasi ini meluluskan 93 persen dari permintaan pada tahun lalu dan hanya 57 persen pada 2014. (REUTERS)