Kendalikan Pencemaran Udara, Mengerem Perubahan Iklim
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
KUCHING, KOMPAS – Pengendalian pencemaran udara tak hanya terkait langsung dengan kualitas hidup manusia dan lingkungan tetapi juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim. Peran Asia yang terdiri negara maju dan berkembang sangat strategis dalam misi global agar bumi tidak makin terpuruk dengan penghangatan di atas 1,5 derajat celsius dibandingkan masa praindustri.
Teknologi dan solusi serta sumber pendanaan yang kerap menjadi kendala kini perlahan mulai terlihat potensinya. Kolaborasi semua pihak dalam mereplikasi berbagai contoh baik agar dunia terselamatkan dari bencana iklim antropogenik tersebut.
“Hal yang kita butuhkan sekarang adalah konsensus di Asia dan kemauan politik serta komitmen untuk membuat perubahan itu. Kelambanan berisiko dan mengancam untuk membalikkan setiap kemajuan yang telah dibuat. Biaya kelambanan jauh lebih besar dalam jangka panjang secara ekonomi, lingkungan, sosial dan kesehatan daripada biaya mengambil tindakan sekarang,” kata Bjarne Pedersen, Direktur Eksekutif Clean Air Asia saat menutup Konferensi Udara Bersih ke-10, Jumat (16/11/2018) di Kuching, Sarawak, Malaysia.
Kelambanan berisiko dan mengancam untuk membalikkan setiap kemajuan yang telah dibuat.
Konferensi dua tahunan bertema "Aksi Regional, Dampak Global" itu menyoroti inovasi dan solusi kualitas udara yang membantu pembangunan berkelanjutan di Asia dan sekitarnya. Itu dikaitkan dengan skenario perubahan iklim yang semakin suram sehingga dibutuhkan tindakan cepat, termasuk dari sisi pengendalian pencemaran udara.
Relasi polusi udara dan perubahan iklim sudah jelas. Sumber utama emisi karbon dioksida (CO2) - pembakaran bahan bakar fosil - bukan hanya pendorong utama perubahan iklim, tetapi juga sumber utama polusi udara. Ketergantungan yang berlanjut pada bahan bakar fosil menghasilkan lebih banyak emisi gas rumah kaca, dan berkontribusi pada pemanasan global serta terus menurunnya kualitas udara.
“Kita harus mengatasi kontribusi substansial dari polutan iklim berumur pendek (short-lived climate pollutants/SLCPs), terutama karbon hitam dan ozon, terhadap perubahan iklim,” kata Bjarne. Kegelisahan dampak perubahan iklim itu didasari laporan khusus Panel Antarpemerintah terkait Perubahan Iklim (IPCC) berjudul "Global Warming of 1.5 ° C" yang dirilis bulan lalu.
Laporan menyadarkan agar warga dunia mengurangi emisi di semua sektor. Terkait perubahan iklim dalam Kesepakatan Paris, Indonesia menjanjikan dalam dokumen NDC untuk menurunkan emisi 29-41 persen pada 2030. Terkait pencemaran udara, Indonesia bisa bersumber dari kebakaran hutan dan lahan yang mendominasi (sektor hutan dan lahan) serta energi dan industri.
“Masih mungkin bagi kita untuk menghindari skenario iklim terburuk. Namun untuk melakukan ini, kita harus mengubah cara kita memenuhi kebutuhan bahan bakar dan energi masa depan kita, mengubah praktik industri kita, dan secara berkelanjutan mengarahkan kembali moda transportasi kita,” ungkap Bjarne di hadapan delegasi dari 55 negara.
Selain menyelamatkan bumi, langkah tersebut merupakan investasi bagi kesehatan dan kualitas generasi mendatang. Selain itu, solusi teknologi serta kebijakan kreatif yang dibangun tiap daerah akan membawa lebih banyak pekerjaan, dan akses yang lebih adil ke energi dan transportasi.
Dalam konferensi selama tiga hari kemarin, Beijing jadi contoh yang terus dipromosikan sebagai praktik baik. Dinas Lingkungan Hidup Beijing (Environment Protection Agency Beijing) mendapatkan Kong Ha Award sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan akan upayanya.
Dalam lima tahun, melalui rencana induk atau grand design udara bersih tahun 2013-2017, Beijing secara ketat menerapkan prinsip pencemar pembayar (polluter pays principle), partisipasi publik, keterbukaan data, penegakan hukum, dan pemantauan. Hasilnya, selama lima tahun ini, di China, konsentrasi debu/particulate matter (PM10) turun 22,7 persen dan PM2,5 turun hingga 40 persen. Di Kota Beijing, konsentrasi PM2,5 turun dari 90 mikrogram per meter kubik menjadi 58 mikorgram per meter kubik.
“Sangat penting adalah menjalankan secara konsisten,” kata Wing-tat Hung, dari The Conservancy Association, satu dari enam juri The Kong Ha Award 2018.
Ming Dengli pejabat dari Dinas Lingkungan Hidup Beijing yang mewakili instansinya menerima The Kong Ha Award mengapresiasi penghargaan ini dan menegaskan ambisi Ibu Kota China itu untuk terus memperbaiki kualitas udara. Mereka telah membangun grand design baru 2018-2022 sehingga saat Olimpiade Musim Dingin 2022 di Beijing, kualitas udara di Beijing jauh lebih baik lagi.