JAKARTA, KOMPAS — Indonesia belum memiliki cukup banyak tenaga insinyur profesional untuk mempercepat pelaksanaan revolusi industri 4.0. Sebab, program yang mendukung profesi insinyur saat ini dirasa belum maksimal.
Hal itu menjadi poin bahasan konferensi pers kegiatan Pra-Kongres ke-21 Persatuan Insinyur Indonesia (PII) di Jakarta Pusat, Jumat (16/11/2018) malam. Untuk memecahkan masalah itu, PII berfokus pada pelaksanaan Undang-Undang (UU) nomor 11 tahun 2014 tentang profesi keinsinyuran, serta penerapan teknologi pendukung industri 4.0 secara lebih intens.
Ketua Umum PII Hermanto Dardak mengatakan, saat ini terdapat sekitar 14.000 tenaga insinyur profesional dari berbagai kejuruan. Jumlah itu, menurut dia, dapat dimaksimalkan dengan adanya 900.000 lulusan sarjana teknik di Indonesia.
"Sesuai peraturan undang-undang, mereka (sarjana teknik) harus tersertifikasi oleh PII jika ingin bekerja sesuai kejuruan secara profesional," kata Hermanto.
Atas pelaksanaan UU nomor 11 tahun 2014, PII bekerjasama dengan 20 perguruan tinggi untuk menghasilkan tenaga insinyur profesional tahun ini. Beberapa perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), dan Universitas Muslim Indonesia (UMI), turut berpartisipasi menambah total sekitar 1.000 insinyur profesional.
Ketua Pelaksana Kongres PII, Faizal Safa, mengatakan keberadaan insinyur penting untuk pengembangan teknologi. Terutama untuk perangkat teknologi cerdas berbasis otomatisasi, internet of things, dan big data yang menjadi penanda dari kemajuan industri 4.0.
"Jumlah insinyur profesional menjadi penting. Sebab, tidak mungkin ada teknologi tanpa keberadaan insinyur," kata Faizal.
Pelaksanaan kongres
Pelaksanaan kedua poin tersebut akan dibahas dalam Kongres PPI ke-21 yang akan diadakan di Padang, Sumatera Barat, pada 6-7 Desember mendatang. Kongres tersebut akan fokus pada permasalahan sumber daya insinyur profesional serta penerapan teknologi cerdas yang menyokong program Making Indonesia 4.0.
Ketua Panitia Pengarah Kongres Teguh Haryono mengatakan, keberadaan kongres ini penting untuk melihat sejauh mana kesiapan Indonesia dari segi sumber daya profesi insinyur. "Dari kongres ini, saya berharap tenaga insinyur muda lebih banyak terlibat untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang pesat," ucapnya.
Sementara itu, Ketua Penyelenggara lainnya, I Made Dana Tangkas, mengharapkan kongres ini dapat dijadikan ajang untuk memetakan posisi Indonesia saat ini. Ia yang juga merupakan direktur dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, menilai perkembangan industri di Indonesia belum merata.
Ia mencontohkan, industri otomotif bisa dibilang sudah memasuki era industri tingkat 3.5. Namun, penggunaan sejumlah teknologi pada industri 4.0 perlu kajian yang lebih mendalam. sebab, hal itu terkait dengan biaya yang dikeluarkan perusahaan.
"Kita juga masih harus mengkaji seberapa efektif penerapan teknologinya. Karena semuanya juga berkaitan dengan profit, sehingga perlu ditimbang keberadaan teknologi itu efektif atau tidak," kata Dana.
Serangkaian hal yang dibahas pada kegiatan tersebut dilakukan untuk mendukung program pemerintah, Making Indonesia 4.0. Program ini akan berfokus pada lima sektor manufaktur unggulan, yaitu industri makanan-minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, dan elektronik.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto pernah mengatakan (Kompas, 8/7/2018), suksesnya program Making Indonesia 4.0 diperkirakan mampu mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Riil sebanyak 1-2 persen per tahun. Hal itu akan berdampak pada pertumbuhan PDB per tahun yang juga meningkat, menjadi 6-7 persen pada periode 2018-2030. (ADITYA DIVERANTA)