JAKARTA, KOMPAS – Perbedaan ras dan etnis yang ada di Indonesia selama ini dimaknai sebagai kekuatan pemersatu. Namun, ada hal yang perlu dipahami lebih dalam untuk benar-benar merajut perbedaan itu.
Peneliti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Elfansuri mengatakan, survei menunjukkan, tingkat segregasi sosial di masyarakat masih tinggi. Sebanyak 80 persen responden menyetujui bahwa mereka lebih nyaman berada di lingkungan dengan etnis dan ras yang sama.
“Potensi akan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis memiliki probabilitas cukup besar. Setidaknya, hal ini mengidentifikasikan sikap permisif yang terjadi di masyarakat,” papar Elfan, di Jakarta, Jumat (16/11/2018).
Paparan ini disampaikan dalam Survei Penilaian Masyarakat terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Survei ini merupakan hasil kerja sama antara Komnas HAM dan Litbang Kompas.
Catatan Kompas (10/11/2018), Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis telah 10 tahun resmi diberlakukan. Namun, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menilai, UU itu seakan terlupakan.
“Sebab, di tengah masyarakat muncul sejumlah kekhawatiran menguatnya penggunaan isu bernuansa ras dan etnis untuk kepentingan tertentu, seperti kepentingan politik di Pemilu 2019,” kata Anam.
Lebih lanjut, Anam menegaskan, agar tidak menggunakan isu radikal etnis dalam ranah publik apapun termasuk untuk guyonan. “Kita enggak boleh membuat orang lain senang dan tertawa tapi menyinggung etnisitas atau ras tertentu,” tutur Anam.
Anam juga mengingatkan, meningkatnya tensi politik menjelang Pemilu 2019, kita harus pastikan bersama jangan sampai berseberangan dengan nilai dan prinsip penghormatan HAM. Para pejabat publik diharapkan tidak menggunakan guyonan ras dan etnis di ruang publik apalagi dalam pertarungan elektoral.
Hasil survei menunjukkan, perbedaan latar belakang ras dan etnis diakui responden sebagai hal yang menguntungkan atau memudahkan. Hal ini mengonfirmasi, primordialisme masih menjadi nilai penting yang dipegang oleh masyarakat.
Menariknya, sebesar 90 persen responden mengaku belum pernah mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis. Menurut Elfan, temuan ini memiliki dua kemungkinan, yaitu tindakan diskriminasi ras dan etnis memang benar-benar sangat jarang terjadi.
“Kemungkinan kedua, yang mengkhawatirkan adalah pemahaman masyarakat tentang bentuk-bentuk diskriminasi ras dan etnis selama ini tidak cukup memadai. Masyarakat tidak menganggapnya sebagai tindakan pelanggaran hukum yang serius,” kara Elfan.
Namun, jika kedua kemungkinan ini ternyata benar, maka dibutuhkan kerja keras dari semua pemangku kepentingan. Elfan menyampaikan, setiap pemangku kepentingan harus memberikan penyadaran bagi masyarakat terkait bentuk-bentuk diskriminasi ras dan etnis.
Sebagai upaya memperbaiki pelaksanaan UU itu, Anam menyampaikan rapat paripurna Komnas HAM pada awal Oktober lalu telah mengesahkan standar norma dan pengaturan penghapusan diskriminasi ras dan etnis (PDRE). Aturan ini nantinya dapat menjadi pedoman bagi seluruh institusi negara.
“Standar norma dan PDRE merupakan peraturan resmi dari Komnas HAM. Dalam pembuatannya, Komnas HAM juga menerima masukan dan kritik dari berbagai pihak, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Jaksa Agung, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, hingga masyarakat,” kata Anam.
Data Komnas HAM mencatat sedikitnya ada 101 pelanggaran ras dan etnis dalam rentang tahun 2011-2018. Jumlah aduan terbanyak terjadi pada 2016 dengan aduan sebanyak 38 dan jumlah pengadu sebanyak 34 berasal dari DKI Jakarta.
Anam menyampaikan, kita memiliki kesadaran bahwa masyarakat Indonesia itu berbeda. Kalau saat ini kita tidak membangun awareness, Anam mengatakan, kesadaran bahwa ras dan etnis itu potensinya menganga di depan kita, itu akan lebih parah dari tahun 2016.
“Perbedaan itu tidak menjadikan kita membuka diri untuk merangkul semuanya. Namun, perbedaan itu malah membuat kita menutup diri. Kita lebih membangun solidaritas internal daripada solidaritas eksternal. Saya lebih nyaman kalau berteman bersama ras atau etnis saya,” papar Anam.
Kita tidak pernah mendiskusikan secara mendalam arti sesungguhnya dari Bhineka Tunggal Ika. Selama ini, semboyan itu hanya menjadi jargon. “Berkebhinekaan tapi tak pernah membuat konstruksi bagaimana caranya merajut erat perbedaan itu,” tegas Anam. (SHARON PATRICIA)