Rencana penataan kawasan Tanah Abang dinilai belum menyeluruh. Pemerintah provinsi DKI Jakarta didorong agar konsisten menjalankan rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang yang ada.
Jembatan penyeberangan multiguna (JPM) atau sky bridge dibangun melayang di atas Jalan Jatibaru Raya, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat sejak Agustus 2018. JPM ini dibangun karena penempatan pedagang kaki lima (PKL) di trotoar Jalan Jatibaru Raya dinilai menyalahi aturan oleh Ombudsman.
Untuk mengatasinya, JPM seluas 386,4 meter kali 12,6 meter itu dibangun untuk menampung ratusan PKL yang semula mengokupasi trotoar. Ada 446 kios berukuran 1,5 meter kali 2 meter yang disiapkan.
Menurut data dari Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta Perdagangan DKI Jakarta, ada 650 pedagang yang tercatat hingga Juli 2018. Pemprov akan memprioritaskan PKL pemilik KTP DKI Jakarta untuk menempati kios di atas JPM. Para PKL yang tidak tertampung akan ditempatkan di Pasar Tanah Abang Blok F.
Belum matang
Rencana penataan Tanah Abang telah ada dan sedang berjalan. Namun, pelaksanaannya menghadapi beragam tantangan, seperti molornya target pembangunan JPM dan koordinasi antarlembaga yang terlibat.
Mulanya, pembangunan JPM direncanakan selesai pada pertengahan Oktober 2018. Kini, JPM ditargetkan selesai pada akhir November 2018. Hingga kini, persentase pembangunan JPM telah mencapai 95-96 persen (Kompas, 14/11/2018).
Akses konektivitas antara JPM dan Stasiun Tanah Abang pun masih terkendala. Dalam rencana desain yang ada, JPM dibangun bersisian dengan stasiun. Tujuannya agar sirkulasi manusia dapat dipusatkan di level atas, sedangkan level bawah untuk sirkulasi kendaraan. Namun, pada kenyataannya, koordinasi antara Pemprov DKI Jakarta dan PT KAI masih lemah. Hal ini terbukti dengan akses konektivitas yang belum dibuka oleh PT KAI.
Pengamat tata kota Nirwono Joga mengatakan, pembangunan JPM merupakan buah perencanaan kawasan Tanah Abang yang tidak matang. Menurutnya, permasalahan mendasar sudah harus diselesaikan sejak awal, seperti koordinasi antarlembaga.
Ia mengatakan, pembangunan JPM merupakan solusi penataan yang parsial, tidak menyeluruh. Pasar Tanah Abang direncanakan menjadi pasar berskala internasional pada 2030. Oleh sebab itu, penataannya pun harus dilakukan dengan standar internasional.
“Dibangunnya harus bertahap sesuai dengan kebutuhan dan ketersediaan anggaran. Entah transportasinya dulu, sirkulasi pejalan kaki, penataan PKL, atau penataan bangunan terpadu lebih dulu. Ini yang sampai sekarang tidak muncul (di rencana penataan Tanah Abang),” kata Nirwono, Kamis (15/11/2018).
Menurutnya, dengan cara seperti ini, penyelesaian kesemrawutan Tanah Abang akan menjadi solusi tambal-sulam semata. Ia menambahkan, JPM tidak akan menyelesaikan kesemrawutan Tanah Abang, baik perihal lalu lintas, maupun PKL.
Patuhi aturan
Pembangunan JPM juga dinilai tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang berlaku. Sebab, pembangunan JPM, menurut Nirwono, tidak konsisten dengan di RDTR dan RTRW yang ada.
Ketidaksesuaian program pemerintah dengan aturan yang berlaku bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta memberi tempat bagi ratusan PKL untuk berjualan di atas trotoar Jalan Jatibaru Raya. Hal ini melanggar Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Di perda itu, siapa pun dilarang berjualan di atas trotoar.
“Kita tetap harus mengikuti peraturan yang ada. Jika tidak, program mana pun yang dilakukan tidak akan berumur panjang. Konsistensi dan ketegasan dari pemprov dibutuhkan,” kata Nirwono.
Solusi jangka pendek
Pemprov masih menunggu respons dari PT KAI untuk membuka akses konektivitas JPM-Stasiun Tanah Abang. Menurut Wakil Wali Kota Jakarta Pusat Irwandi, surat permintaan akses sudah diberikan kepada pihak PT KAI.
Sejumlah hal harus dipertimbangkan oleh pemprov, seperti jaminan keamanan dan keteraturan PKL. Bila akses antara JPM dan Stasiun Tanah Abang dibuka, akan ada sejumlah hal yang berpotensi merugikan salah satu pihak. Beberapa potensi itu adalah tumpahan PKL ke area stasiun, melemahnya aspek keamanan, dan minimnya ketersediaan fasilitas umum.
PT KAI berharap Pemprov DKI memberi kepastian dan kesepakatan desain bersama mengenai fasilitas umum, keamanan, serta pengaturan arus penumpang di JPM (Kompas, 14/11/2018). Hal ini wajar mengingat pemprov belum dapat menjamin pencegahan imbas pembukaan akses tersebut.
“Apa yang diminta PT KAI harus segera dipenuhi oleh pemprov bila JPM ingin cepat beroperasi,” kata Nirwono.