Guru besar seharusnya produktif mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi yang berkontribusi untuk nasional dan global. Nyatanya masih banyak profesor yang lebih sibuk mengajar daripada meneliti.
JAKARTA, KOMPAS — Profesor di perguruan tinggi didorong untuk berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan secara nasional dan global. Mereka diberi ruang meningkatkan publikasi di jurnal ilmiah internasional bereputasi.
Sejauh ini, masih banyak profesor yang belum produktif menghasilkan publikasi ilmiah karena lebih sibuk mengajar dan mengejar jabatan struktural.
Direktur Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Kemristek dan Dikti, Ali Ghufron Mukti, pada Seminar Tahunan Profesor Kelas Dunia (Annual Seminar World Class Professor/WCP), di Jakarta, Kamis (15/11/2018), mengatakan, para profesor di Indonesia masih belum menjadikan kegiatan meneliti dan menulis sebagai prioritas. Banyak profesor yang masih berat bebannya pada mengajar.
Ghufron mengatakan, profesor sebagai jabatan fungsional tertinggi di PT diharapkan bisa mendukung target pemerintah untuk meningkatkan jumlah publikasi internasional pada jurnal bereputasi, hak kekayaan intelektual, memperluas jejaring internasional, serta berkontribusi dalam pengembangan iptek dan global.
Saat ini terdata 5.283 profesor dengan nilai kredit 850 dan hanya 248 profesor dengan nilai kredit 1.050. Jika melihat data Science Technology and Technology Index (SINTA) yang menghitung produktivitas profesor sejak 2006, cukup banyak profesor yang punya capaian H-index Scopus nol atau di bawah dua digit.
Ghufron mengatakan, profesor Indonesia yang berkolaborasi dengan profesor berkelas dunia yang punya H-index minimal 20 (skema A dengan target publikasi di jurnal internasional Q1) dan skema B (minimal H-index 10 dengan target jurnal internasional Q2), membuahkan hasil yang menggembirakan. ”Ada profesor dari Universitas Airlangga yang bisa diterima di jurnal bereputasi dengan H-index 251,” katanya.
Direktur Karier dan Kompetensi SDM Bunyamin Maftuh mengatakan, tahun ini ada 115 profesor dari 30 PTN dan PTS yang terlibat. Profesor yang diajak berkolaborasi berasal dari 23 negara, termasuk 12 profesor dari dalam negeri yang berkelas dunia.
Bunyamin mengatakan, berkolaborasi dengan profesor berkelas dunia, para profesor Indonesia diharapkan mampu membidik jurnal internasional bereputasi Q1 dan Q2 yang punya H-index tinggi. Adapun H-index mengukur produktivitas dan dampak dari karya yang diterbitkan ilmuwan.
Peserta WCP menghasilkan publikasi yang berstatus published (dipublikasi) sebanyak dua, revised sebanyak empat, accepted (diterima) sebanyak satu, under reviewed (dalam tinjauan ulang) sebanyak 20, dan submitted (diajukan) sebanyak 35. Targetnya program ini bisa menghasilkan 115 publikasi.
”Sebagian besar profesor masih publikasi di jurnal internasional Q3 dan Q4. Karena itu, WCP diadakan untuk mendukung peningkatan publikasi, terutama yang bisa banyak disitasi atau dirujuk ilmuwan lain,” kata Bunyamin.
Butuh dukungan
Distinguished Professor di University of Technology Sydney TM Indra Mahlia sebagai salah satu profesor diaspora Indonesia yang terlibat di WCP menyambut baik program ini. ”Untuk menghasilkan ilmuwan atau peneliti yang berkelas dunia, butuh dukungan dari pemerintah,” kata Indra.
Menurut dia, agar WCP punya dampak panjang bagi peningkatan publikasi internasional dari Indonesia yang berkualitas, yang dilibatkan tak hanya profesor. Perlu juga melibatkan mahasiswa yang cemerlang untuk dibimbing oleh profesor bereputasi.
Guru Besar Universitas Gadjah Mada Jumina mengatakan, penelitian harus fokus dan dilakukan dengan dedikasi. Belum semua PT punya komitmen yang sama.
Menurut Jumina, keikutsertaan WCP membantu untuk mengembangkan riset secara kolaboratif dengan berpedoman pada peta jalan riset yang sudah disusun perguruan tinggi. Riset kolaborasi dengan profesor luar negeri fokus pada desain material cerdas untuk aplikasi pada bidang obat-obatan dan lingkungan. Jumlah paper yang dijanjikan 11, tetapi dapat melampaui target.
Inspektur Jenderal Kemristek dan Dikti Jamal Wiwoho mengatakan, dukungan peningkatan riset bagi para peneliti salah satunya dengan mengubah pertanggungjawaban berbasis proses menjadi output. ”Di proposal, peneliti sudah mencantumkan karya produknya, termasuk publikasi di jurnal bereputasi. Ini agar peneliti tak terkungkung administrasi pelaporan keuangan yang dinilai ribet,” ujar Jamal.