Transparansi Anggaran Pendidikan Belum Jadi Prioritas
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Masyarakat hendaknya mengawasi transparansi anggaran pendidikan. Data sekolah, termasuk anggaran pendidikan ini bisa diakses di situs Sekolah Kita dan Cek Sekolahku.
JAKARTA, KOMPAS – Transparansi anggaran belum menjadi prioritas dalam pengawasan kinerja sekolah oleh masyarakat. Padahal, transparansi anggaran merupakan cara agar terwujud proses pendidikan yang utuh, efisien, efektif, dan berkarakter. Butuh sosialisasi lebih gencar kepada seluruh pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk mengedepankan transparansi anggaran.
“Orangtua lebih mementingkan kegiatan belajar daripada transparansi anggaran. Mereka menganggap penggunaan anggaran pendidikan bukan urusan mereka, melainkan sudah dikelola oleh pemerintah,” kata Dekan Fakultas Pendidikan Universitas Sampoerna Nisa Felicia di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
Nisa mengatakan hal itu dalam diskusi “Diseminasi Kasus: Menggunakan Data Terbuka Sekolah untuk Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas”. Penelitian ini dilakukan Nisa pada 2017 sebagai bagian program Institut Internasional untuk Perencanaan Pendidikan (IIEP) di bawah Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Ia mengatakan, setidaknya terdapat dua situs yang menyajikan data sekolah di Indonesia. Situs pertama adalah Sekolah Kita yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Situs ini berisi profil, akreditasi, dan warta kegiatan 215.697 sekolah. Di dalamnya juga ada keterangan mengenai lokasi perpustakaan, museum, dan tempat-tempat yang bisa dijadikan sumber pendidikan lainnya.
Setidaknya terdapat dua situs yang menyajikan data sekolah di Indonesia, yaitu Sekolah Kita dan Cek Sekolahku.
Situs kedua, Cek Sekolahku yang dibuat Transparency International Indonesia (TII). Laman ini selain memuat profil sekolah juga memuat berbagai laporan dari orangtua terkait hal-hal yang mereka permasalahkan di sekolah seperti kinerja guru. Beberapa juga mempertanyakan mengenai penggunaan anggaran pendidikan maupun bantuan operasional sekolah (BOS).
Penelitian Nisa dilakukan di Semarang (Jawa Tengah), Bojonegoro (Jawa Timur), dan Makassar (Sulawesi Selatan). Dari 304 orangtua yang disurvei, hanya 64 persen yang mengetahui keberadaan situs Sekolah Kita atau pun Cek Sekolah. Sisanya tidak mengetahui adanya media untuk mengetahui profil sekolah dan melakukan pengaduan.
“Meskipun begitu, baik orangtua, guru, dan siswa ternyata tidak terlalu memerhatikan mengenai transparansi anggaran,” tutur Nisa. Guru dan siswa lebih memandang penting pengadaan barang dan infrastruktur yang kemudian dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain.
Tidak tepat sasaran
Manajer Riset TII Wawan Heru Suyatmiko mengungkapkan, penggunaan BOS maupun dana pendidikan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah seringkali tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran. Hal ini karena dalam perencanaan pemanfaatan anggaran jarang melibatkan komite sekolah dan siswa untuk mengetahui kebutuhan yang mendesak. BOS digunakan untuk menambah alat bantu pembelajaran, tetapi kemudian jarang dipakai karena di sekolah tidak ada yang bisa mengoperasikan.
“Contoh lain ialah pembangunan WC sekolah yang tidak memerhatikan perbandingan jumlah siswa dan siswi sehingga antrean WC siswi lama, padahal jumlah siswi melebihi siswa,” ujar Wawan.
Lazimnya, kata Wawan, orangtua hanya dilibatkan di hilir, yakni evaluasi. Selain itu, ketika melakukan pelaporan ke sekolah atau pun dinas pendidikan setempat, orangtua mengeluh tidak mendapat informasi mengenai tindak lanjut yang diambil.
“Masyarakat masih menganggap sekolah sebagai pabrik pencetak siswa pintar. Orangtua memasukkan anak ke sekolah dan mengharapkan mereka lulus dengan prestasi baik. Mereka tidak menyadari untuk menciptakan kondisi yang nyaman dan menyenangkan bagi anak untuk belajar butuh kerja sama semua pihak,” ucapnya.
Masyarakat masih menganggap sekolah sebagai pabrik pencetak siswa pintar. Orangtua memasukkan anak ke sekolah dan mengharapkan mereka lulus dengan prestasi baik.
Meskipun begitu, Wawan mengatakan, ada kabupaten/kota yang dalam pengamatan TII menerapkan transparansi anggaran dengan baik. Contohnya adalah Bojonegoro, Pontianak (Kalimantan Barat), dan Batang (Jawa Tengah). Bupati membuat peraturan mengenai keterbukaan informasi publik terkait pengelolaan dan pemakaian anggaran. Bahkan di Bojonegoro, bupati setiap hari Jumat melakukan pertemuan dengan warga membahas agenda mingguan.
“Masalahnya, tidak ada jaminan bupati berikutnya akan lanjut menerapkan, apalagi memerbaiki sistem yang sudah ada,” tutur Wawan.
Pakar pendidikan Bukik Setyawan mengungkapkan, transparansi anggaran masih dianggap sebagai tujuan. Hal ini mengakibatkan tidak semua pihak tertarik untuk mendalaminya. Padahal, sejatinya, transparansi anggaran adalah cara untuk membangun sistem pendidikan yang baik karena berdasarkan permasalahan nyata yang ada di kelas, sekolah, dan masyarakat.