Tak Henti Merangkai ”Puzzle” Borobudur
Walau selesai dipugar tahun 1983, penyusunan Candi Borobudur belumlah paripurna. Ribuan batu lepas belum sukses ditemukan posisinya. Jalan panjang merangkai utuh teka-teki mahakarya dunia.
Ribuan batu berbagai bentuk dan ukuran berserak di halaman Museum Borobudur di Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Sebagian berselimut lumut. Enam tahun, hanya tiga yang dapat disatukan ke tubuh utama candi.
”Bukan karena malas atau kelambanan petugas. Pencocokan batu candi itu ibarat bermain teka-teki. Hanya mengandalkan perasaan dan intuisi,” kata Wahyudi, juru teknis pelestari batu candi di Balai Konservasi Borobudur.
Pengalaman mencocokkan dan mencoba memasang batu candi tak jarang membuat dia dan rekan-rekannya kerap gigit jari. Pernah berulang kali saat sudah merasa yakin tentang posisi batuan dan beramai-ramai membawanya ke atas bangunan candi, mereka kecewa bukan kepalang karena harapan meleset.
Akhirnya, batu-batu berat itu dibawa turun lagi. ”Berat satu batu candi itu bisa puluhan kilogram,” ujar Wahyudi.
Batu-batu di halaman Museum Borobudur itu disebut sebagai batu lepas. Sejak pemugaran III candi yang dimulai 1973, jumlah batu lepas sekitar 12.000 blok.
Namun, lebih dari 40 tahun berselang, jumlah batu yang dapat disusun dan dipasang di candi hanya sekitar 2.500 unit. Sebagian dari batu lepas itu batu bagian langkan, batu artefak, dan sebagian lain termasuk batu berelief.
Hari Setyawan, arkeolog di Balai Konservasi Borobudur, mengatakan, kegiatan pencocokan batu candi sudah sejak era tahun 1970-an, termasuk ketika pemugaran III mulai 1973-1983.
Namun, karena tingkat kesulitan tinggi, pencocokan batuan yang berlangsung setiap tahun belum pasti membuahkan hasil. Proyek pencocokan batuan candi adalah pekerjaan yang tak bisa ditarget. Contohnya, rentang 2012-2018, hanya tiga blok batu yang bisa dicocokkan.
Sulit dibedakan
Kesulitan dan hambatan yang dihadapi petugas di Balai Konservasi Borobudur adalah karena satu batu sangat mirip dengan yang lain. Hari mencontohkan, salah satu bagian batu yang sulit dicari pasangannya adalah batu kepala arca.
Saat ini, ada 56 kepala arca dan 240 badan arca tanpa kepala. Bagian kepala arca sudah dikelompokkan menjadi enam jenis kepala. Namun, pemasangannya tetap saja tidak mudah karena satu kepala ternyata bisa dipasangkan ke minimal 16 badan arca. ”Karena begitu banyak yang mirip, kami pun justru khawatir keliru memasang kepala ke badan arca,” ujarnya.
Pencocokan batuan ini juga memancing penasaran tim ahli dari Jerman. Tahun 2011, mereka tertarik membantu pencocokan batu candi. Tim menyarankan pemakaian alat magnetic susceptibility meter.
Cara kerjanya, setiap kepala dan tubuh arca dipindai dengan gelombang magnetik untuk mengetahui struktur patahan sehingga didapat potongan yang benar-benar cocok. Setelah sempat dicoba, upaya ini justru membingungkan karena semuanya mirip. Bisa dipasangkan satu sama lain.
Secara ikonografi, Hari mengatakan, batu-batu candi ini dibuat dan diukir sangat presisi. Mengacu sejarah, batu-batu itu disusun dulu, baru kemudian dipahat. Inilah yang lalu menyebabkan pemasangan batuan tak bisa dipaksakan. Sambungan batuan sangat rapi serta kunciannya begitu tepat dan persis.
Hari menyebutkan, filosofi pemasangan batu candi di Borobudur tetap mempertahankan keaslian bentuk dan bahan batu. ”Jika semua batu dapat dipasang, itu menjadi kelebihan tersendiri dan diapresiasi UNESCO,” katanya.
Ia berharap, di masa depan ada alat pemindai berteknologi canggih yang bisa mencocokkan ribuan batu yang masih menanti pasangannya di halaman Museum Borobudur.
Keterbatasan tenaga
Selain kerumitan mencocokkan batu, keterbatasan jumlah tenaga ahli juga menjadi tantangan penyusunan puzzle besar Candi Borobudur. Hingga kini, tak ada tim khusus steller (pencocok batu candi).
Balai Konservasi Borobudur hanya punya tim pemeliharaan beranggota 17 orang. Sebanyak 7 orang mengurus administrasi kantor dan 10 lainnya menjadi tenaga lapangan.
Terlebih, menurut Kepala Seksi Konservasi Balai Konservasi Borobudur Yudi Suhartono, tidak ada sekolah formal yang mengajari teori menyusun batu candi. ”Itu butuh pengalaman dan insting,” ucapnya.
Tentu saja di balik pekerjaan tanpa target menyusun ribuan batu berserak itu, tim konservasi juga berpacu dengan potensi pelapukan batu candi karena air, penggaraman, dan sementasi, proses keluarnya kandungan garam dari batu yang kemudian mengendap di sambungan antarbatu.
”Endapan itu akan mengeras seperti semen, seperti karang. Itu mendesak batu dan selanjutnya bisa retak,” kata Hari.
Seperti diungkapkan Werdi (64), steller yang pensiun delapan tahun lalu, pencocokan batu candi adalah pekerjaan hampir tak pernah selesai. Setiap kali ditanya apakah pekerjaannya sudah selesai, para penyusun batu hanya bisa menjawab, ”Nggih pun meh (sudah hampir).”
”Ya begitu, sudah hampir ketemu. Itu jawaban yang bisa diberikan mulai dari awal kerja sampai pensiun. Ya, cuma hampir, enggak bisa lebih,” ucapnya.
Werdi mengatakan, merangkai atau menyusun batu candi ibarat permainan menyusun puzzle. Rumit, tetapi mengasyikkan. Berhasil menemukan pasangan batu atau posisinya di candi mendatangkan sukacita besar.
Ya, itulah buah ketekunan dan panggilan hati. Bagaimana tidak? Disengat terik matahari, mengamati hamparan batu hitam berukir, hingga naik-turun mengitari candi setiap hari. Belum lagi membongkar dokumen lawas.
Di balik mahakarya salah satu keajaiban dunia, banyak tangan dan hati yang merawat. Hingga entah kapan.