Empat Tahun, Pembangunan Rumah Korban Belum Rampung
Oleh
Jean Rizal Layuck
·2 menit baca
MANADO, KOMPAS - Pembangunan rumah dan fasilitas umum lainnya untuk korban banjir besar di Manado, Sulawesi Utara tahun 2014, hingga kini belum rampung. Dari 1.045 unit rumah tipe 36 yang direncanakan dibangun, 375 unit belum terbangun. Proyek senilai Rp 215 miliar yang diduga bermasalah itu pun kini tengah diselidiki Kejaksaan Agung.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Manado Max Tatahede di Manado, Kamis (15/11/2018), mengatakan, lambatnya pembangunan rumah korban banjir disebabkan keterlambatan penyiapan lahan dan pematangan tanah dari Pemerintah Provinsi Sulut.
Ia mengatakan, proyek itu semestinya selesai dua tahun. Namun, hingga jelang akhir tahun ini masih tersisa 375 unit belum rampung. Penyebab keterlambatan lainnya, pendataan para korban banjir butuh waktu lama.
“Kami sangat selektif mendata para korban banjir yang rumahnya benar-benar rusak. Banyak orang mengaku rumahnya rusak, tetapi di lapangan tidak demikian,” kata Max.
Koordinator Sulawesi Utara Corruption Watch Deswerd Zougira mengatakan, proyek pembangunan rumah dan penyaluran bantuan bagi korban bencana itu diduga bermasalah. Kasus itu tengah ditangani Kejaksaan Agung dengan memeriksa sejumlah pejabat, di antaranya Wali Kota Manado Vicky Lumentut dan pejabat BPBD Sulut.
“Penyelidikan masih berlangsung, sejumlah pejabat telah diperiksa oleh Kejaksaan Agung,” kata Deswerd.
Kepala BPBD Sulut Joi Oroh membenarkan dirinya sempat dipanggil Kejaksaaan Agung terkait proyek tersebut. “Saya memberi keterangan apa adanya. Saya baru seminggu menjabat Kepala BPBD Sulut ketika diperiksa,” katanya.
Max Tatahede mengatakan, pemeriksaan terkait distribusi bantuan kepada penerima. Pemberian bantuan dilakukan berdasar kategori berat-ringan kerusakan rumahnya, yakni Rp 40 juta, Rp 20 juta, dan Rp 10 juta. “Kami dilaporkan telah memotong uang bencana sebesar Rp 2 juta dari setiap korban, padahal tidak. Pihak kejaksaan telah melakukan verifikasi kepada penerima bantuan,” katanya.
Max mengatakan, pembangunan rumah korban bencana dilakukan sendiri oleh para korban. Bantuan rumah korban bencana yakni tipe 36 dengan dana Rp 40 juta di atas lahan 10 meter x 12 meter. Warga korban bencana pun diwajibkan tinggal di rumah bantuan tersebut. Apabila dalam tempo enam bulan mereka tidak menghuni rumah, bantuan akan dicabut.
Gimo, warga korban bencana asal Kelurahan Sario Kotabaru, mengatakan, banyak warga enggan tinggal di rumah bantuan itu karena minimnya air bersih. “Di sana warga kesulitan air sehingga banyak warga yang pindah ke rumah asal,” katanya.