Anak-anak Kembar Berjuang antara Takhayul dan Kemiskinan
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
Dengan berjubah dan berkupluk putih, dua anak kembar berusia lima tahun, Salim dan Mahamadou Cisse, melangkah hati-hati melewati jalur pejalan kaki dan lalu lintas yang tersendat di Distrik Abobo yang padat di kota Abidjan, wilayah selatan Pantai Gading. Mereka berjalan sambil memegang mangkuk yang mereka gunakan untuk menampung uang hasil dari mengemis.
Di luar balai kota di pusat perdagangan Pantai Gading itu, tiga pasang kembar lainnya juga mengemis. Dua dari pasangan itu masing-masing mengenakan kostum tim nasional sepak bola Nigeria dan Real Madrid.
Di Pantai Gading, anak-anak kembar secara luas dilihat sebagai fenomena aneh dan bahkan supranatural. Takhayul atau kepercayaan yang berkembang dalam masyarakat Pantai Gading mengakibatkan anak-anak kembar itu dibawa ke pekan raya atau pusat keramaian dan dijadikan pengemis.
Prihatin terhadap fenomena itu, kini muncul gerakan-gerakan yang menyerukan perubahan sikap dalam memandang fenomena anak-anak kembar. Takhayul yang ada selama ini menghancurkan masa depan anak-anak kembar itu karena banyak yang tidak mengenyam bangku sekolah atau bahkan tidak tinggal di dalam rumah yang layak.
”Hentikan cara-cara yang membuat anak-anak kembar kita harus menghadapi risiko, seperti hujan, matahari, debu, berbagai macam bahaya, dan penyakit!” Ini merupakan lagu protes yang dinyanyikan musisi populer Pantai Gading, Lecko ’Nda (nda berarti ’kembar’ dalam bahasa Akan).
”Sangat berbahaya berada di pinggir jalan, di depan masjid. Anak kembar bukan tukang sihir, anak kembar bukanlah pengemis”. Begitu lirik lagu Lecko ’Nda.
Asosiasi Kembar Pantai Gading (A2JPCI) secara teratur melakukan kampanye kesadaran untuk mengubah takhayul tentang anak-anak kembar. ”Tujuan utama kami adalah memerangi penggunaan anak-anak kembar untuk mengemis,” kata Jean-Tresor Depri, ditemani saudara kembarnya, Jean-Paul.
A2JPCI mengatakan memiliki 1.000 anggota dan memperkirakan jumlah anak-anak kembar di Pantai Gading minimal ada 5.000 pasang. ”Kami menghadapi situasi yang sangat rumit di Pantai Gading dan di Afrika. Tempat anak-anak adalah di sekolah,” ujar Depri.
”Menaruh anak-anak di tepi jalan tidak membuat kami bahagia. Kemiskinanlah yang membuat kami harus melakukan ini,” ucap Aicha Cisse, ibu dari Salim dan Mahamadou.
Cisse mengatakan, hasil dari mengemis dalam sehari mencapai 2.000 franc CFA (3,5 dollar AS atau sekitar Rp 50.000) dan terkadang 5.000 franc CFA (Rp 125.000). Orang-orang di jalanan kadang memberi kacang, sayuran, dan singkong.
Sebelum si kembar lahir, Cisse bekerja sebagai tukang cuci. ”Ini adalah satu-satunya solusi ketika mereka belum bersekolah,” katanya tentang aktivitas mengemis yang dilakukan anak kembarnya itu. Namun, saat anak-anak kembarnya mulai bersekolah tahun depan atau dua tahun lagi, menurut Cisse, dirinya akan bekerja sebagai tukang cuci lagi.
Akan tetapi, kenyataannya banyak orangtua anak-anak kembar yang justru dengan sengaja menunda sekolah anak-anak mereka agar mereka bisa terus mengemis dan mendapatkan uang. Anak-anak yang sudah sekolah pada hari Jumat dibawa ke masjid untuk mengemis dan biasanya menghasilkan lebih banyak uang. Tidak hanya Jumat, pada akhir pekan juga.
Fidelia Gaudet, doktor di bidang sosiologi dengan spesialisasi studi anak-anak kembar, mengatakan, di banyak negara di Afrika, kelahiran umumnya dilihat sebagai simbol kemakmuran dan berkat. Kelahiran mengarah pada banyak ritual, terutama kelahiran kembar.
”Kelahiran anak kembar memunculkan kebodohan dan melahirkan mitos. Karena kami tidak memahami penjelasan ilmiah terkait anak-anak kembar, cerita-cerita pun berkembang. Aspek supranatural terlibat, dan hal itu menyebabkan rasa takut,” ujar Gaudet.
”Untuk mempromosikan kohesi sosial, menghindari pembunuhan anak-anak dan marjinalisasi, maka legenda lahir. Masyarakat mengatakan, anak-anak kembar dilindungi oleh ular dan dapat mengubah diri menjadi ular. Mitos-mitos itu bertujuan melindungi anak kembar. Namun, sayangnya, mitos tersebut justru menyebabkan anak-anak kembar menjadi obyek bagi tumbal untuk mendapatkan kekayaan,” tutur Gaudet.
Beberapa anak-anak kembar malah akhirnya memercayai kisah-kisah yang diceritakan terkait mereka. ”Ada hal-hal yang terjadi. Ular muncul di rumah. Setiap malam, ada ular di kamar tidur ibu kami. Bahkan, ular terus mengikuti kami,” kata Romeo dan Romain Guioho yang kini berusia 24 tahun.
”Suatu hari, saudara saya berkelahi dengan sekelompok orang dan tiba-tiba seekor ular muncul. Ularnya hitam besar dan mereka yang berkelahi itu langsung kabur. Ular itu muncul ketika kami diserang,” ungkap mereka.
Kedua saudara kembar itu menyatakan, iman Kristen dalam keluarga mereka mencegah mereka berusaha menguasai kekuatan supranatural seperti yang dipercaya masyarakat.
Keduanya lebih suka menjadikan kemiripan fisik sebagai lelucon pada teman-teman dan pacar mereka. ”Kami menukar pakaian kami untuk melihat apakah mereka mengenali kami, dan itu berhasil,” ucap salah satu saudara kembar itu.
”Kami orang yang baik, kami tidak rumit, kami suka bersenang-senang, kami menikmati tertawa bersama banyak orang. Itulah mengapa orang-orang menikmati lelucon kami. Kami bangga menjadi kembar dan kami bahagia,” ungkap keduanya. (AFP)