COLOMBO, SENIN — Sejumlah partai mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung Sri Lanka, Senin (12/11/2018). Mereka meminta majelis hakim menyatakan keputusan Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena soal pembubaran parlemen dan percepatan pemilu sebagai keputusan ilegal.
Perwakilan Partai Persatuan Nasional (UNP), Aliansi Nasional Tamil (TNA), dan Front Pembebasan Rakyat (JVP) mengajukan gugatan itu. Mereka menguasai 2/3 kursi di Parlemen Sri Lanka. Bahkan, UNP merupakan partai asal Ranil Wickremesinghe, Perdana Menteri Sri Lanka yang diberhentikan Sirisena pekan lalu. Sebagai pengganti Wickremesinghe, Sirisena menunjuk mantan Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapakse. Keputusan itu ditentang parlemen yang menyatakan keputusan Sirisena tidak memiliki dasar hukum.
”Gugatan sudah diterima pagi ini dan bergantung pada Ketua MA untuk memutuskan kapan persidangan dimulai,” demikian pernyataan resmi MA Sri Lanka, Senin, di Colombo, Sri Lanka.
Selain ketiga partai itu, sejumlah kelompok masyarakat dan penggugat perseorangan juga mengajukan gugatan sejenis. Gugatan diajukan menyusul pernyataan Ketua Parlemen Sri Lanka Karu Jayasuriya yang meminta perintah ilegal Sirisena diabaikan.
”Saya memantau dalam dua pekan terakhir, pemimpin pemerintahan membekukan hak dan merampas kekuasaan parlemen yang dipilih untuk mewakili warga. Kita harus bertindak dengan patriotisme dan kemerdekaan untuk mengamankan masa depan demokrasi di negara kita,” tuturnya.
Mengejutkan
Sebelumnya, dalam pidato pada Minggu (11/11/2018) malam, Sirisena membuat pernyataan mengejutkan. Ia membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu. Keputusan itu dinyatakan demi mencegah potensi kerusuhan di parlemen dan seluruh negeri jika ada pemungutan suara untuk menentukan siapa PM yang sah dan didukung mayoritas parlemen di antara Rajapakse atau Wickremesinghe.
”Sepertinya, jika saya mengizinkan parlemen bersidang pada tanggal 14, tanpa membubarkannya, akan terjadi pertarungan di setiap kota dan desa yang dapat memicu keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi sebagian besar warga,” ujar Sirisena.
”Karena itu, solusi terbaik adalah tidak mengizinkan 225 anggota parlemen untuk berkelahi satu sama lain, hal yang bisa memicu perkelahian pada seluruh elemen negara. Tugas dan tanggung jawab untuk memberi kesempatan 15 juta pemilih di negara guna memilih anggota parlemen melalui pemilu,” lanjutnya.
Sebelumnya, Sirisena membekukan parlemen sampai 16 November 2018. Dalam periode itu, ada upaya membujuk parlemen agar mendukung penunjukan Rajapakse. Setelah gagal, Sirisena membubarkan parlemen dan memutuskan pemilu akan digelar pada Januari 2019, seharusnya pemilu digelar pada Agustus 2020.
Dalam pidato pada Minggu malam, Sirisena juga mengingatkan Wickremesinghe yang menolak meninggalkan rumah dinas PM. Sirisena menyatakan, hanya pejabat sah yang bisa menggunakan aset negara selama masa transisi. Ia akan mengerahkan polisi untuk mengamankan aset negara yang digunakan secara ilegal.
Sirisena dan Wickremesinghe awalnya berkongsi menjalankan pemerintahan Sri Lanka. Belakangan, mereka semakin berseberangan. Salah satu pemicunya adalah keputusan Wickremesinghe membuat program reformasi ekonomi yang tidak disetujui Sirisena. Ia juga menuding Wickremesinghe dan sejumlah menteri berusaha membunuhnya. Wickremesinghe membantah tudingan itu. (AP/AFP)