Kualitas Pelayanan JKN Belum Prima
Secara konsep, program Jaminan Kesehatan Nasional sangat baik. Namun, dalam implementasinya masih banyak masalah yang harus diperbaiki.
JAKARTA, KOMPAS - Program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat atau JKN-KIS telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan kian terbuka. Tidak ada lagi hambatan biaya ketika berobat.
Namun, dalam pelaksanaannya masalah-masalah teknis yang muncul di awal implementasi program tahun 2014 masih saja terjadi di tahun kelima implementasi program.
Antrean berjam-jam untuk mendapatkan pelayanan, rujukan yang menyulitkan, sulitnya mencari ruang perawatan intensif, obat yang tidak tersedia, hingga kartu peserta yang tak bisa digunakan menjadi kasus yang masih sering mengemuka.
Peserta JKN-KIS di Makassar, Sulawesi Selatan, Nuraeni (38), mengatakan, dirinya merasakan betul manfaat JKN-KIS ketika menjalani operasi caesar anak keduanya di Rumah Sakit Bersalin Fatimah dan ketika anaknya dioperasi akibat penyakit di bagian usus. beberapa waktu lalu. "Semua dilayani dan saya dirawat hingga sembuh. Tak ada uang keluar," ujar petugas kebersihan Kecamatan Rappocini itu.
Akan tetapi, hal itu berbeda dengan yang dialami Heriyanto Sihombing (47). Tenaga pemasaran properti yang tinggal di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, itu harus mengantre berjam-jam ketika berobat di Puskesmas Kecamatan Kebon Jeruk dengan layanan 24 jam. Ini terjadi karena jumlah pasien yang datang tidak seimbang dengan jumlah dokter yang bertugas.
Tertulis jumlah dokter yang bertugas sebanyak tiga orang tapi yang ada di tempat hanya satu atau dua orang.
Peserta JKN-KIS kelas II itu nyaris membawa selimut untuk tidur saat mengantre dari pukul 18.30-23.30 WIB ketika sakit radang tenggorokan, batuk, dan pilek.
“Dokternya satu. Pasien yang antre ratusan. Lebih cepat kalau ke klinik,” ujarnya.
Bahkan, antre lama di instalasi farmasi rumah sakit pun seperti sudah menjadi wajah program JKN-KIS yang wajar. Hendra Sebayang (60), pasien penyakit jantung yang menjalani rawat jalan di RS Jantung Harapan Kita, mengatakan, “Menunggu sedikit tidak apa-apalah. Yang penting obatnya sudah lengkap. Saya rasa semua peserta BPJS Kesehatan mengalami hal yang sama,” ujar pria yang mengantre sejak pukul 08.00 hingga 13.30 untuk mendapatkan obat itu.
Di Surabaya, pasien RS Dr Soewandi, Surabaya, Mujihadi (62), masih merasa dinomorduakan dalam pelayanan, berbeda dengan pasien umum yang membayar sendiri.
Pedagang asongan di Taman Prestasi, Surabaya itu menyampaikan, ia harus mengantre hingga tiga jam untuk mendapatkan pelayanan. Pemeriksaan oleh dokter pun dirasa sebentar padahal ia ingin dokter memeriksanya lebih detail dan berkonsultasi lebih lama sebelum merespkan obat.
Kartu tidak aktif
Sementara di Maluku, hampir semua Kartu Indonesia Sehat yang dibagikan pemerintah kepada warga Desa Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah dinyatakan tidak aktif. Akibatnya, warga yang sakit tidak bisa memanfaatkannya. Sementara untuk berobat dengan biaya sendiri mereka tidak mampu.
Dance Latumutuani (39), warga Piliana, bercerita, tahun lalu dirinya mengantar seorang warga berobat ke RSUD Masohi. Setelah menyerahkan KIS pasien tersebut petugas di loket RSUD Masohi menyatakan kartu yang belum pernah dipakai itu tidak aktif. Petugas lalu meminta pasien dirawat melalui jalur umum.
"Kalau seperti ini tidak ada gunanya masyarakat dikasih KIS. dikantongi tapi tidak bermanfaat," ujarnya. Padahal, masyarakat berharap dengan kartu itu mereka bisa berobat secara gratis karena iurannya ditanggung pemerintah.
Setelah Pemerintah Desa mengecek, ternyata dari 130 lebih KIS yang diterima warga setempat hanya satu kartu yang aktif. Tahun 2017, Pemerintah Desa Pilian membayar uang Rp 16 juta kepada Dinas Kesehatan untuk mendaftarkan warganya lewat jalur mandiri.
Banyak aduan
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat, selama ini ada banyak pengaduan masyarakat terhadap layanan BPJS Kesehatan. Yang paling sering adalah pasien dan keluarganya harus direpotkan mencari ruang perawatan sendiri. "Sepupu saya sendiri meninggal karena tidak bisa dipindah dari satu rumah sakit. Keluarga sudah susah payah mencari kamar kosong di tempat lain tapi penuh," ujarnya.
Seharusnya BPJS Kesehatan, atas nama peserta, yang mengusahakan ruang perawatan. Untuk itulah mereka digaji. Posisi keluarga pasien sangat lemah ketika berhadapan dengan rumah sakit.
Oleh karena itu, Timboel sangat mendorong BPJS Kesehatan untuk hadir 24 jam di rumah sakit. Dengan begitu, pasien bisa mengadu jika terjadi sesuatu sehingga tidak perlu berhadapan langsung dengan rumah sakit.
Memang, Timboel menyadari bahwa ada masalah dalam sisi ketersediaan dan sebaran fasilitas kesehatan juga tenaga kesehatan. Tapi itu seharusnya tidak jadi persoalan. BPJS Kesehatan harus kreatif berinovasi bagaimana memberikan pelayanan yang baik agar peserta puas.
Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir, mengatakan, JKN-KIS telah sangat membantu pasien gagal ginjal yang harus menjalani hemodialisis. Akan tetapi, di lapangan masih banyak kekurangan yang dirasakan pasien.
Misalnya, pasien hemodialisis yang kondisinya lemah harus mengambil perpanjangan rujukan ke puskesmas. Selain itu, tidak seluruhnya paket manfaat JKN-KIS dirasakan pasien. Banyak pasien yang tidak mendapat obat dan pemeriksaan penunjang. Akibatnya, terapi yang dijalani substandar. "Hanya hemodialisisnya saja yang ditanggung. Obat dan pemeriksaan laboratorium tidak. Padahal, itu semua secara aturan masuk dalam paket manfaat. Ini terjadi karena tarif yang terlalu kecil," tutur Tony.
Tarif hemodialisis pada rumah sakit tipe D yang sekitar Rp 750.000 terlalu kecil untuk mencakup hemodialisis, obat, dan laboratorium. Obat eritropoietin untuk meningkatkan sel darah merah pada pasien predialisis yang sangat diperlukan tidak ditanggung sehingga pasien berisiko anemia.
Wilayah heterogen
Guru Besar Kebijakan dan Administrasi Kesehatan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Laksono Trisnantoro, menuturkan, layanan JKN bagus di kota besar di mana terdapat fasilitas kesehatan yang lengkap dan tenaga kesehatan yang mumpuni. Namun, jika lihat di daerah layanan JKN tidak sama dengan di kota. Meski membayar iuran yang sama peserta di daerah tidak dapat mengakses fasilitas dan tenaga kesehatan yang kualitasnya sama dengan di kota besar.
Memang, ujar Laksono, ada aspek portabilitas dalam JKN. Akan tetapi, ini hanya bisa dilakukan oleh peserta yang mampu secara ekonomi. "Kalau mau bilang layanan JKN bagus itu di mana dulu, kalau jelek itu di mana. Tidak semua tempat sama bagusnya atau jeleknya," katanya.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, menyampaikan, wilayah geografis yang luas dan heterogen menjadi tantangan tersendiri untuk pemerataan layanan kesehatan di Indonesia. Setiap wilayah perlu intervensi yang berbeda-beda sesuai kebutuhannya. Selain itu, persoalan distribusi tenaga kesehatan yang belum merata juga masih menjadi kendala.
Ia menambahkan, salah satu upaya yang terus didorong saat ini adalah semakin menguatkan fasilitas keseahatan primer di tengah masyarakat. Tahun 2017 lalu, sebanyak 110 puskesmas sudah dibangun di daerah perbatasan. Tahun ini, sekitar 250 puskesmas yang dibangun. Sementara tahun 2019 nanti, diharapkan sebanyak 240 puskesmas bisa terbangun.
“Pembangunan puskesmas ini juga harus memperhitungkan kesiapan SDMnya. Dirjenyankes (Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemkes) terus menyiapkannya,” kata Nila.
Ketua Ikatan Ahil Ekonomi Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany, agak sulit mengukur kualitas layanan kesehatan yang diterima oleh peserta JKN-KIS karena dalam layanan kesehatan ada asimetris informasi. Ukuran-ukuran kualitas dari sudut pandang fasilitas kesehatan dan pasien pasti berbeda.
Yang mungkin bisa dilihat adalah persepsi akan kualitas dari masing-masing sudut pandang.
(FRANSISKUS PATI HERIN/RENY SRI AYU/COKORDA YUDISTIRA/SEKAR GANDHAWANGI/JUMARTO YULIANUS/IQBAL ASYARI/FAJAR RAMADHAN/SITA NURAZMI MAKHRUFA/LOREENZO ANUHERAH MAHARDIKA/FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)