DEPOK, KOMPAS — Siswa Indonesia menghadapi kondisi ”gawat darurat” dalam penguasaan kompetensi dasar untuk berpikir dan bernalar. Hal ini antara lain terpotret dari kemampuan dasar berpikir matematika siswa SD hingga SMA/sederajat yang justru tidak berkembang baik.
Persoalan ini mengemuka dalam acara Deklarasi Gerakan Nasional Berantas Buta Matematika (Gernas Tastaka) di Universitas Indonesia (UI), Depok, Sabtu (10/11/2018). Gernas Tastaka yang bertujuan mengatasi buta aksara ini diprakarsai sejumlah aktivis pendidikan yang didukung Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI.
Dalam deklarasi yang dilanjutkan diskusi bertajuk ”Berantas Darurat Matematika” itu hadir inisiator Gernas Tastaka Ahmad Rizali dan Rektor UI Muhammad Anis. Adapun narasumber diskusi, mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal, pengamat pendidikan Indra Charismiadji, anggota tim SMERU Research Institute Niken Rarasati, peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Chandra CA Putri, serta dosen matematika dari Sampoerna University Dhitta Puti Sarasvati.
Ahmad mengatakan, terjadi kondisi gawat darurat bermatematika siswa dari SD hingga SMA. Kondisi ini dapat berdampak pada kemampuan anak-anak dalam berpikir dan bernalar. ”Jika ini dibiarkan, generasi emas Indonesia terancam gagal membangun peradaban Indonesia di masa yang akan datang,” kata Ahmad.
Inisiator Gernas Tastaka Ahmad Rizali
Studi pemerintah yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) pada siswa SD pada 2016 sudah menunjukkan kondisi gawat. Sebesar 77,13 persen siswa SD di seluruh Indonesia memiliki kompetensi matematika kurang, 20,58 persen cukup, dan 2,29 persen baik.
Pada AKSI 2017, hasil untuk siswa SMP juga memprihatinkan. Dari siswa kelas VIII di dua provinsi, hasil rata-rata kompetensi literasi matematika siswa kurang, yakni 27,51 dari skor 0-100. ”Kita harus bergerak bersama menyelamatkan generasi emas bangsa,” ujar Ahmad.
Niken menjelaskan, dari data survei Indonesia Life Survey Famili 2000 dan 2014, dari sejumlah paket soal pengurangan, penambahan, perkalian, dan pembagian yang setara untuk usia 7-14 tahun dan usia 15 tahun ke atas tampak bahwa kemampuan bermatematika siswa semakin menurun, termasuk ketika berada di jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Pada 2000, hanya 31,8 persen di jenjang SD yang menjawab benar, sedangkan di tingkat SMA sebanyak 42,3 persen. Adapun pada 2014, yang menjawab benar di jenjang SD sebanyak 26,5 persen, sedangkan di SMA sebanyak 38,7 persen.
Hasil tes internasional, seperti TIMSS, pada siswa usia 8 tahun juga cenderung menurun. Pada 1999, skor matematika siswa Indonesia 403, tetapi terus menurun hingga 386 pada 2012. Padahal, skor siswa di negara maju OECD minimal 500. OECD adalah organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi.
Mencari akar masalah
”Anak-anak lama bersekolah, tapi kemampuan matematika rendah, bahkan cenderung menurun. Artinya, siswa di sekolah belum tentu belajar secara berkualitas. Kondisi ini tentu harus dicari akar masalahnya dan diatasi bersama,” ujar Niken.
Menurut Niken, data IFLS merupakan kajian jangka waktu panjang. Data ini merepresentasikan sekitar 83 persen populasi Indonesia.
Kondisi bermatematika siswa SD yang rendah juga terlihat dari PSPK. Chandra mengatakan, sejak 2016 PSPK menggunakan pengukuran mandiri numerasi dan literasi (pemantik) yang dikembangkan ASER dari Pratam, India.
Kajian dilakukan di Surabaya, Bandung, dan Medan.
Menurut Chandra, dari baseline study melalui tes pemantik pada 263 anak usia SD-SMP di Langkat dan Deli Serdang, untuk tes hitungan dasar, di kelas I SD masih ada 27 persen siswa yang tidak mengenal satuan, bahkan di SMP pun ada sekitar 5 persen.
Untuk pembagian, baru 7 persen siswa kelas IV SD yang menguasai berdasarkan target capaian kelas, dan naik terus hingga kelas VI SD dan I SMP yang berkisar 22 persen. Namun, mulai kelas II SMP kemampuan siswa mulai menurun di kisaran 19 persen-15 persen.
”Dari temuan tes pemantik, kemampuan dasar bermatematika yang semestinya sudah bagus di kelas III SD karena jadi transisi untuk ke kelas atas ternyata sudah bermasalah. Di soal matematika yang butuh kemampuan literasi juga bermasalah. Karena itu, kami bergerak di literasi dan numerasi karena saling terkait juga,” ujar Chandra.
Dhitta mengatakan, banyak orang tidak percaya jika ada masalah dalam hasil pembelajaran matematika. ”Kami tidak mengatakan siswa Indonesia bodoh. Akan tetapi, dari kurvanya banyak anak yang kapasitasnya tidak berkembang. Ini artinya orang-orang dewasa di sekitar anak tidak memfasilitasi anak dengan baik,” ujar Dhitta.
Menurut Dhitta, belajar matematika tidak untuk menjadikan anak-anak sebagai matematikawan, tetapi untuk bernalar dengan menguasai perhitungan aritmatika dasar.
Dhitta mengatakan, pembelajaran matematika yang bermakna harus dikembangkan guru jika mau membuat anak bisa bermatematika. Ada proses berpikir secara matematis yang tidak dikembangkan dalam pembelajaran.
”Belajar matematika penting untuk membantu anak dapat memikirkan hal abstrak. Namun, belajar semestinya dimulai dari hal konkret,” ujar Dhitta.
Sementara itu, Fasli mengatakan, indikator mutu mendesak untuk dimasukkan dalam perencanaan pendidikan guna mengondisikan pemerintah pusat dan daerah memperbaiki hasil belajar siswa. Hal ini sudah dimasukkan dalam indikalator penilaian tujuan keempat SDG tentang pendidikan berkualitas.
”Dukungan dan pemahaman pada mutu hasil belajar belum baik,” ujar Fasli. Contohnya, dari kajian pembelanjaan APBD di empat kabupaten, yang bisa dipastikan untuk mendukung mutu pendidikan 0,7-5 persen saja dari anggaran pendidikan.