1.000 Warga Vietnam Akan Ikuti Terapi Cuci Otak Dokter Terawan
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rumah sakit kepresidenan, RSPAD Gatot Soebroto, bekerja sama dengan Pemerintah Vietnam dan PT Clinique Suisse terkait terapi cuci otak dengan digital substracion angiography atau DSA. Dalam kerja sama tersebut, 1.000 warga Vietnam akan mengikuti terapi yang dipopulerkan oleh dokter spesialis radiologi Terawan Agus Putranto ini.
Penandatanganan nota kesepahaman (MOU) dilakukan antara lain oleh Kepala RSPAD Gatot Soebroto sekaligus pelopor terapi cuci otak Terawan Agus Putranto, Duta Besar Vietnam untuk Indonesia Pamp Vinh Quang, dan Komisaris PT Clinique Suisse Harianto. Acara ini juga disaksikan perwakilan Pusat Kesehatan TNI, Ikatan Dokter Indonesia, dan perguruan tinggi.
Terawan mengatakan, kerja sama ini diadakan untuk memudahkan warga Vietnam mengikuti terapi cuci otak ke Indonesia. Sebelumnya, secara informal, sudah ratusan warga Vietnam yang mengikuti terapi. Namun, mereka kesulitan antre di Indonesia karena tidak ada yang mengoordinasikan.
”Sekarang ada Clinique Suisse yang mengoordinasikan mereka. Clinique Suisse yang akan mengatur jadwal dan sebagainya sehingga lebih terkoordinasi, prosesnya lancar, dan pelayanan semakin baik,” kata Terawan.
Untuk tahun pertama, pihak rumah sakit akan melayani 1.000 orang dan bisa bertambah seiring dengan waktu. Hal ini telah disesuaikan dengan kapasitas rumah sakit dalam melayani terapi cuci otak. Saat ini, rumah sakit memiliki tiga perangkat DSA dan ada tujuh dokter yang dilibatkan dalam terapi.
”Sekarang kita baru melayani lima warga asing dalam sehari. Kita batasi agar tidak mengganggu pelayanan terhadap pasien Indonesia. Sehari, rata-rata kita bisa melayani 30 pasien, maksimal bisa 50 pasien,” ujar Terawan.
Menurut Terawan, sudah banyak warga negara lain yang datang untuk mengikuti terapi yang dikenalkannya sejak 2004 ini, antara lain dari Amerika Serikat, Eropa, Korea, Jepang, China, dan Australia. Namun, warga negara asing tersebut belum terkoordinasi dengan baik saat datang ke Indonesia. Hingga saat ini, lanjutnya, pihaknya telah melakukan terapi terhadap sekitar 30.000 pasien.
Wisata kesehatan
Komisaris PT Clinique Suisse Harianto mengatakan, terapi cuci otak yang ditemukan Terawan telah banyak dikenal masyarakat Indonesia dan sebagian masyarakat mancanegara. Terapi ini bisa menjadi salah satu unggulan dalam program wisata kesehatan yang telah dicanangkan pemerintah beberapa waktu lalu.
”Kami telah melakukan uji coba, mendatangkan sebagian pasien dari Vietnam, pengusaha, dan pejabat serta mendapatkan hasil yang luar biasa,” ujar Harianto.
Ia berharap, apa yang dilakukan RSPAD Gatot Soebroto menjadi patokan bagi rumah sakit lain di Indonesia dalam mengembangkan wisata kesehatan. Dia percaya, teknologi kesehatan Indonesia tidak kalah dari negara tetangga di ASEAN.
”Dari waktu ke waktu, pengakuan terhadap terapi ini akan semakin besar, mudah-mudahan apa yang dicapai jadi patokan. Berawal dari Vietnam, kami akan masuk ke negara lain di ASEAN. Kami juga berupaya membawa terapi ini ke ’Greater Asia’, China, Jepang, dan Korea,” tuturnya.
Duta Besar Vietnam untuk Indonesia menyambut baik kerja sama tersebut. Hal ini merupakan salah satu tindak lanjut dari perjanjian kerja sama yang disepakati Indonesia dan Vietnam saat setiap pemimpin negara saling mengunjungi beberapa waktu lalu.
”Selamat atas kerja sama ini. Mudah-mudahan semakin mempererat hubungan di antara kedua negara yang sudah terjalin sejak lama,” lanjutnya.
Kontroversi
Terapi cuci otak dengan menggunakan perangkat DSA merupakan metode yang dipopulerkan Terawan untuk mengobati stroke. DSA adalah pemeriksaan yang memberikan gambar lumen atau permukaan bagian dalam pembuluh darah, termasuk arteri, vena, dan serambi jantung.
Selama ini, DSA digunakan sebagai alat diagnosis. Namun, oleh Terawan, DSA dipakai sebagai metode terapi. Meskipun mendapatkan testimoni positif dari pasien yang mengikuti terapi, apa yang dilakukan Terawan ditentang sebagian dokter. Menjadikan DSA sebagai metode terapi dinilai bertentangan dengan tata laksana stroke karena belum teruji klinis dan bisa membahayakan keselamatan jiwa pasien.
Berdasarkan sidang yang digelar Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia, Terawan dinyatakan melanggar etik serius dan menetapkan sanksi berupa pemecatan sementara sebagai anggota IDI selama 12 bulan, mulai 26 Februari 2018 sampai 25 Februari 2019 (Kompas, 5/4/2018). Majelis juga merekomendasikan pencabutan izin praktik. Namun, sanksi tersebut belum dilaksanakan.
”Belum ada keputusan dari Pengurus Besar IDI yang disampaikan langsung kepada saya. Saya pun tidak pernah membahasnya,” ucap Terawan.
Terkait perizinan, ia mengatakan, secara tidak langsung Kementerian Kesehatan telah memberikan izin karena tidak ada surat larangan terkait terapi yang dilakukannya.
Sementara itu, terkait uji klinis yang dipermasalahkan, menurut Terawan, terapi ini tidak perlu uji klinis karena peralatan dan obat-obatan yang digunakan telah teruji secara klinis.
”Indonesia boleh berbeda pendapat, yang terpenting keamanan pasien. Orang-orang yang masih meragukan, biar waktu yang membuktikan. Untuk riset, kita sudah ada. Tinggal menunggu waktu,” ujarnya. (YOLA SASTRA)