MALANG, KOMPAS — Semua masyarakat desa adalah ”kompor” di desanya masing-masing. Oleh karena itu, setiap orang bertanggung jawab untuk bisa menyalakan semangat membangun desa (berdesa) di desanya masing-masing.
Hal itu menjadi benang merah dalam forum Sinau Desa Ke-3 di Kedai Kawee, Desa Pandanlandung, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Hadir dalam diskusi tersebut perwakilan berbagai komponen masyarakat, baik kepala desa, akademisi, jurnalis, maupun masyarakat desa secara luas.
Peserta yang hadir berasal dari Desa Pandanlandung serta beberapa desa lain di Kabupaten Malang, perwakilan dari Desa Banyakan, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri, serta perwakilan dari Probolinggo, dan Situbondo.
Acara sinau desa dimulai sekitar pukul 20.30 dan berakhir pukul 00.00. Selain berdiskusi, peserta juga diajak menyanyikan lagu-lagu nasional dan lagu tentang desa oleh Arbanat String Ansamble. Acara dipandu Muhammad Najih (pendamping desa di Kecamatan Bulawang, Kabupaten Malang) dan Yuswantoro (jurnalis yang sering menulis tentang desa).
”Kompor desa di sini bukan sekadar berarti pemanas yang menghidupkan nyala semangat orang untuk berdesa. Namun, kompor juga bisa merupakan kependekan dari ’komunitas pelopor’ desa,” kata Najih.
Dalam acara tersebut, semua orang sepakat bahwa seluruh elemen masyarakat desa harus sama-sama berjuang mewujudkan cita-cita kesejahteraan desa (dalam arti luas) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014.
”Saya setuju bahwa UU Desa harus dipertahankan. Caranya, dengan mewujudkan masyarakat desa yang berpikiran maju. Masyarakat desa sekarang sudah bisa mulai menata dirinya sendiri. Sudah banyak anak muda mau turun membangun desanya. Jangan sampai nanti desa kembali tidak memiliki wewenang apa-apa lagi seperti sebelumnya,” tutur Bambang Prayitno, Ketua RW 004 Desa Pandalandung.
Juyadi, Ketua RW 005 Desa Pandanlandung, menambahkan, ”kompor” desa adalah semua orang yang peduli pada desanya. ”Kompor desa, menurut saya, adalah kita semua yang hadir dalam forum ini. Yang peduli dan mau memikirkan dan berbuat untuk desanya. Dengan berdiskusi seperti ini, akan menambah pengetahuan dan menyalakan semangat kita untuk membangun desa,” katanya.
Juyadi menyebutkan, tahun ini pembangunan infrastruktur di RW-nya sudah selesai. Ke depan, pembangunan akan lebih diarahkan untuk membangun kualitas sumber daya manusia.
”Dahulu, warga sini kalau ada orang luar datang membawa ide bagus biasanya tidak dianggap. Tetapi kini, dengan terus berubahnya pemahaman masyarakat, masyarakat mulai mau diajak memikirkan desa. Mari kita membangun desa dengan mulai dari lingkungan terkecil RT dan RW, lalu tingkat desa,” ujar Juyadi.
Yuswantoro, pemantik forum sinau desa, mengatakan, menciptakan ”kompor” desa bisa dilakukan dengan dua jalan. Pertama, jalur kultural melalui tokoh masyarakat, kiai, atau orang yang disegani. Jalur kedua adalah struktural, yaitu melalui pendamping desa, pendamping lokal skala desa, perangkat desa, dan lainnya.
”Yang dibutuhkan untuk bisa menjadi kompor desa adalah keikhlasan. Ikhlas untuk menyumbangkan waktu, tenaga, pikiran, bahkan materi untuk desa,” katanya.
Namun, membangkitkan semangat berdesa dan melahirkan ”kompor-kompor” desa, menurut Ahmad Muhsin, pegiat desa dari Desa Banyakan, Kecamatan Banyakan, Kabupaten Kediri, tidaklah mudah.
”Kalau ada persoalan, biasanya warga larinya kepada tokoh sepuh. Oleh tokoh sepuh itu, biasanya persoalan dikembalikan ke pemerintahan desa. Jadi, kalau ada masalah terkait perangkat desa, akhirnya tidak ada penyelesaian yang baik. Bahkan, orang-orang kritis terhadap pemerintah desa dianggap sebagai penghalang dan disingkirkan,” tuturnya.
Fery Sapta, pendamping desa dari Situbondo, menyebutkan, pengakuan atas desa sebenarnya sudah ada sejak lama. Namun, pengakuan itu pasang surut seiring pemerintahan yang berkuasa.
”Oleh karena itu, untuk menjaga agar hal kewenangan desa terus diakui, butuh banyak orang yang mau bicara dan diakui soal desa. Mencari solusi tepat atas persoalan desa yang ditemui. Forum-forum sinau desa seperti ini harus terus ditularkan ke tempat lain,” ucapnya.
Iman Suwongso, penggagas forum sinau desa, menuturkan, forum sinau desa merupakan model transformasi UU Desa kepada masyarakat. Transformasi ilmu dilakukan dengan model dan gaya bertutur khas masyarakat desa, bukan model kelas atau seminar yang biasanya cenderung membosankan.