37 Izin Hutan Sosial di Jawa Barat Diserahkan Presiden
BANDUNG, KOMPAS — Presiden Joko Widodo akan menyerahkan 37 izin perhutanan sosial kepada masyarakat di Jawa Barat. Pemberian akses kelola masyarakat pada wilayah hutan itu diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan perlindungan hutan sendiri.
Selama rezim pemerintahan ini, perhutanan sosial terus digenjot hingga mencapai sekitar 2,5 juta hektar dari alokasi 12,7 juta hektar kawasan hutan yang disiapkan. Jumlah ini terus melonjak meski harus dicek keberlanjutan dampak ekonomi dan sosialnya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Sabtu (10/11/2018), di Bandung, mengatakan, Presiden menekankan agar masyarakat tidak hanya diberi akses tetapi juga berlanjut hingga pendampingan, stimulus bibit, hingga permodalan. Karena itu, dalam setiap pemberian akses perhutanan sosial ini pemerintah menggandeng perbankan badan usaha milik negara sebagai penyalur kredit usaha rakyat.
”Selain kita perlu duitnya dari perbankan bagi masyarakat, pihak perbankan itu juga punya kemampuan teknis untuk memberikan arahan bagi masyarakat akan usaha yang feasible dan ekonomis. Jadinya sinkron,” kata Siti saat berbincang dengan sejumlah wartawan di Taman Hutan Raya Ir H Djuanda, Bandung, Sabtu sore, di sela-sela menyiapkan kedatangan Presiden.
Minggu siang, Presiden menyerahkan sejumlah 14 surat keputusan berbentuk izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) seluas 2.943 hektar yang dikelola 2.252 keluarga. Selain itu, ada pula 23 surat keputusan berbentuk perlindungan dan pengakuan kemitraan kehutanan (Kulin KK) seluas 5.674 hektar yang dikelola 3.207 keluarga. Total izin pengelolaan yang diberikan Presiden di Bandung sejumlah 8.617 hektar.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto mengatakan, Kulin KK meninjau bentuk kerja sama pengelolaan hutan berbasis masyarakat serta lembaga masyarakat desa hutan antara masyarakat dengan Perhutani. Dalam Kulin KK, sejumlah terobosan dilakukan dengan menempatkan warga sebagai penerima persentase keuntungan tertinggi, izin pengelolaan selama 35 tahun dari sebelumnya hanya 2 tahun.
”Masyarakat mendapatkan persentase keuntungan lebih besar dari Perhutani, toh masyarakat juga yang mengelola di lapangan. Kita beri hak kelola 35 tahun sehingga warga bersemangat menanam,” ujarnya.
Masyarakat mendapatkan persentase keuntungan lebih besar dari Perhutani, toh masyarakat juga yang mengelola di lapangan. Kita beri hak kelola 35 tahun sehingga warga bersemangat menanam.
Direktur Penyiapan Kawasan KLHK Erna Rosdiana mengatakan, total perhutanan sosial yang telah diberikan di Jawa Barat mencapai 7.491 hektar, terdiri dari IPHPS dan Kulin KK. Jumlah ini akan bertambah dengan pemberian simbolis oleh Presiden kepada masyarakat. Di Jawa Timur, perhutanan sosial sebanyak 9.804 hektar dan Jawa Timur 22.113 hektar.
Hutan adat
Terkait hutan adat–salah satu skema dalam perhutanan sosial– hingga kini masih bertahan pada 33 surat keputusan seluas 27.000 hektar. Hal ini diakui masih jauh dibandingkan potensi penerima hutan adat yang diperkirakan mencapai 6,4 juta hektar.
KLHK berupaya memercepat pemberian hutan adat ini dengan pembentukan tim percepatan pengakuan dan perlindungan hutan adat sejak Agustus 2018. Untuk sementara, analisis tim menunjukkan kendala hutan adat masih berkutat pada syarat birokrasi dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan bahwa pemberian hutan adat wajib mendapatkan pengakuan daerah melalui peraturan daerah.
Perda ini pun harus memuat subyek (masyarakat adat) dan obyek (wilayah kelola). Selain itu, terjamin kelembagaan serta peninggalan historis masyarakat adatnya. Bila area hutan adat berada di luar kawasan hutan, hanya dibutuhkan pengakuan masyarakat adat melalui surat keputusan bupati.
Analisis tim percepatan juga menunjukkan dari 6,4 juta hektar potensi hutan adat sejumlah 2,9 juta hektar belum memiliki perda dan 3,5 juta hektar sudah memiliki produk pengakuan berupa perda ataupun SK bupati. Dari jumlah 3,5 juta itu, hanya 5.000 hektar yang memenuhi syarat formal dan 58.000 hektar baru memiliki perda tentang tata cara pengakuan, dan sebagian besar luasan memiliki aturan yang masih lemah.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Bambang Supriyanto mengatakan, pihaknya memberikan advokasi kepada pemda yang belum memiliki perangkat regulasi bagi masyarakat adatnya. ”Kami lakukan advokasi dan coaching clinic bagi peraturan daerah yang memenuhi persyaratan serta memfasilitasi komplain-komplain yang timbul dari usulan (hutan adat) tersebut,” katanya.
Sementara itu, Rimbawan Muda Indonesia, melalui siaran pers, mendorong agar Kasepuhan Cibarani di Lebak, Banten, segera mendapat pengakuan hutan adat. Itu agar menyusul Kasepuhan Karang yang telah mengantongi hutan adat serta Kasepuhan Pasir Erih dan Cirompang yang melewati tahapan verifikasi teknis.
Kasepuhan ini merupakan bagian dari 522 kasepuhan yang diakui dalam Perda No 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan. Hanya saja, menurut Bambang, kendala di lapangan masih terjadi.
Saat proses pengecekan dilakukan, wilayah satu kasepuhan dengan wilayah kasepuhan lain mengalami tumpang tindih. Untuk membicarakan ini pun tak mudah karena antarkasepuhan memiliki strata atau gap sosial yang harus diselesaikan masyarakat.
”Di dalam perda itu sudah diatur harus ada Majelis Adat Banten Kidul yang akan membicarakan dan menyelesaikan persoalan, termasuk terkait wilayah adat,” katanya. Selain itu, wilayah kasepuhan beririsan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang harus dikaji historis dan regulasinya.