YOGYAKARTA, KOMPAS — Universitas Gadjah Mada diminta segera menuntaskan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan mahasiswa saat menjalani masa kuliah kerja nyata pada 2017. Sejumlah mahasiswa dari universitas itu melakukan aksi unjuk rasa demi mendorong pengusutan kasus tersebut.
Aksi unjuk rasa itu digelar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM), Yogyakarta, Kamis (8/11/2018). Puluhan mahasiswa dari berbagai fakultas datang menandatangani kain lebar sebagai bentuk dukungan kepada korban pelecehan seksual. Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto turut memberikan dukungannya dengan ikut menandatangani kain tersebut.
Sebelumnya, UGM membenarkan dugaan pelecehan seksual yang menimpa seorang mahasiswinya dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Hal itu terjadi sewaktu korban mengikuti program KKN UGM di Pulau Seram, Maluku, pada 2017. Sementara itu, terduga pelaku pelecehan seksual merupakan seorang mahasiswa Fakultas Teknik UGM yang mengikuti KKN di Pulau Seram bersama korban (Kompas, 7/11/2018).
Cornelia Natasya, koordinator aksi unjuk rasa, menyampaikan, pihaknya menginginkan agar korban mendapatkan informasi terkini dan transparan mengenai proses penanganan kasus itu. Sebab, selama ini, ia menyatakan, kasus tersebut tidak ditangani secara jelas.
”Kami menginginkan agar kasus ini segera dituntaskan dan berpihak kepada korban. Penyelesaian kasus ini agar punya perspektif kekerasan seksual yang lebih besar,” kata Natasya.
Terkait hal itu, Kepala Bidang Humas dan Protokol UGM Iva Ariani mengungkapkan, universitas telah menerjunkan tim investigasi yang telah memberikan rekomendasi atas kasus itu kepada para pimpinan universitas. ”Rekomendasi telah diberikan sejak Juli 2018. Rektor langsung membuat memo pelaksanaan dua atau tiga hari setelah rekomendasi itu diberikan,” kata Iva.
Ada beberapa rekomendasi yang diberikan ke rektorat UGM. Rekomendasi itu antara lain pemberian pendampingan psikologis kepada korban atau penyintas dan penjatuhan sanksi kepada pelaku.
Hingga saat ini, sanksi bagi pelaku hanya pembatalan nilai KKN sehingga pelaku harus mengulang nilai tersebut serta penundaan wisuda karena ada persoalan yang belum diselesaikan. Sebab, beredar informasi bahwa pelaku terdaftar sebagai calon wisudawan yang akan diwisuda pada November ini.
”Mahasiswa yang menyelesaikan rangkaian akademik berhak mendaftarkan wisuda, tetapi masih perlu verifikasi. Saat verifikasi ini, nanti dilihat, dia masih punya tanggungan persoalan yang harus diselesaikan atau tidak. Saat ini, (pelaku) belum terverifikasi. Saya tegaskan, dia tidak boleh wisuda karena proses masih berjalan,” papar Iva.
Cornelia menyampaikan, tuntutan lain yang diminta adalah agar pelaku dikeluarkan dari universitas. Hal itu dinilai sebagai hukuman yang setimpal bagi apa yang telah dilakukan oleh pelaku.
Namun, Iva menjelaskan, tidak mudah untuk memberikan hukuman tersebut. Menurut peraturan yang berlaku, sanksi pengeluaran dapat dikenakan kepada akademisi UGM jika kasus itu sudah dibawa ke ranah hukum dan pelaku telah menjadi terdakwa.
”Aturan akademisi di UGM, DO (drop out) bisa dimunculkan jika (pelaku) sudah menjadi terdakwa karena kasus hukum. Itu bisa saja terjadi,” kata Iva.
Iva menyampaikan, pihak universitas bersama dengan tim investigasi serta pendamping korban akan menemui korban dan berkomunikasi tentang kasus ini untuk dibawa ke ranah hukum. ”Seandainya (rekomendasi) dirasa belum memenuhi asas-asas keadilan, UGM akan terus back up dan support agar penyintas mendapatkan rasa itu,” kata Iva.
Terkait hal itu, Cornelia menyampaikan, korban tidak mau membawa kasus ini ke ranah hukum. Ia beralasan, hukum yang berlaku di Indonesia tidak berpihak kepada korban atau penyintas kekerasan seksual.
Secara terpisah, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise meminta kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi UGM saat KKN ditangani secara serius. Kementerian PPPA siap mendampingi aparat hukum agar menangani kasus ini secara serius. Karena pelaku sudah berusia dewasa dan tidak lagi berusia anak-anak, pelaku harus dihukum berat. ”Pelakunya harus diberikan hukuman seberat-beratnya,” kata Yohana di Klaten, Jawa Tengah.
Menurut Yohana, Kementerian PPPA juga akan melakukan pendampingan psikologis kepada korban melalui Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak. Ini dilakukan untuk memulihkan trauma yang dialami korban akibat kejadian tersebut. ”Kami ikut mendampingi untuk trauma healing dan pendampingan lain terkait penanganan kasus ini,” katanya.