JAKARTA, KOMPAS – Maraknya pungutan berkedok perijinan menyebabkan harga rumah subsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah menjadi mahal. Akibat perijinan berbiaya tinggi tersebut harga rumah membengkak sampai 20 persen dari harga semestinya.
”Persoalan utama (pengadaan perumahan untuk rakyat berpenghasilan rendah) adalah perizinan di pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional, lama dan biaya tinggi,” kata Ketua Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Indonesia (asperi) Junaidi Abdillah usai beraudiensi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla di Kantor Presiden Jakarta, Kamis (08/11/2018).
Upaya percepatan pembangunan perumahan rakyat berpenghasilan rendah sejatinya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2016 tentang Pembangunan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Ini ditempuh antara lain dengan penyederhanaan perizinan dan pembatasan waktu masa pengurusan perizinan.
Persoalannya, menurut Junaidi, pelaksanaan oleh birokrasi di lapangan tak mengindahkan ketentuan tersebut. Banyak pemerintah daerah misalnya, masih menerapkan berbagai perizinan yang semestinya tidak berlaku atas kategori rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Contohnya adalah perizinan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan yang masih dipersyaratkan pemerintah daerah. Padahal PP Nomor 64 Tahun 2016 menyebutkan, pengembang cukup melampirkan surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.
”Izin lokasi juga. Semestinya tidak disyaratkan, tetapi pemerintah daerah masih mensyaratkan. Izin-izin lama masih jalan terus di daerah. Dan pungutan di daerah itu sangat kencang,” kata Junaidi.
Persoalan perizinan juga terjadi di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) berbagai daerah. Junaidi mengatakan, pengurusan perizinan masih makan waktu lama. Oleh sebab itu, pengembang harus merogoh uang pelicin untuk mempercepat prosesnya.
”Pemecahan sertifikat tanah misalnya, mungkin biayanya Rp 200.000. Tapi faktanya di atas Rp 1 juta. Jadi pengurusan di BPN, biayanya masih tinggi dan waktunya masih lama. Padahal ini kan untuk rumah subsidi. Jadi kami minta kebijakan khusus oleh BPN,” kata Junaidi.
Akibat perizinan berbiaya tinggi tersebut, harga rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah menggelembung dari harga semestinya. ”Bisa sampai 10-20 persen dari harga yang semestinya,” kata Junaidi.
Komitmen daerah rendah
Dihubungi di Bogor, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, menyatakan, banyak dan lamanya perizinan di daerah disebabkan karena rendahnya komitmen pemerintah daerah dan birokrasi vertikal. Ujung-ujungnya adalah ekonomi biaya tinggi yang tidak saja harus ditanggung pertama-tama oleh pengembang tetapi pada akhirnya adalah masyarakat berpengasilan rendah sebagai target program pemerintah.
”Birokratisasi, rent seeking, dan korupsi, sangat rawan terjadi manakala berkaitan dengan urusan perizinan lahan,” kata Endi.
Namun di beberapa daerah, Endi menambahkan, faktor penyebab lainnya adalah nihilnya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Hal ini membuat pemerintah daerah kesulitan mengalokasikan lahan. Sampai saat ini, 50 daerah belum memiliki RDTR.
”Komitmen rendah. Tapi ada juga persoalan struktural, yakni belum adanya RDTR sehingga beberapa pemda kesulitan. Jadi pemerintah pusat sebaiknya tegas sekaligus ikut mencarikan solusi,” kata Endi.
Mengacu PP Nomor 64 Tahun 2016, pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dilakukan untuk luas lahan tidak lebih dari lima hektar dan sedikitnya 0,5 hektar serta berada dalam satu lokasi yang diperuntukkan bagi pembangunan rumah tapak.
Di Jabodetabek, merujuk keterangan Junaidi, harga rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah adalah Rp 145 juta per unit. Luas tanah 60 meter persegi dengan luas bangunan maksinal 36 meter persegi.
Mengutip situs resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pemerintah memiliki sejumlah program pengadaan rumah bagi masyarkat berpenghasilan rendah. Di antaranya adalah Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Subsidi Selisih Bunga Kredit Perumahan (SSB), Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), dan Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT).
Dari sisi penawaran, pemerintah memberikan insentif berupa pembebasan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk Rumah Sederhana Tapak dan Satuan Unit Rusun Milik, penurunan Pajak Penghasilan Final (PPH) dari 5 persen menjadi 1 persen bagi pengembang yang membangun rumah bersubsidi, dan program bantuan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum (PSU) sehingga kualitas rumah subsidi semakin nyaman dihuni.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.