YOGYAKARTA, KOMPAS - Data besar atau big data dalam program Jaminan Kesehatan Nasional dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan sekaligus mengendalikan biaya kesehatan. Analisis terhadap data besar juga bisa membantu pemerintah untuk mengidentifikasi kekurangan lainnya dalam implementasi JKN.
Hal itu mengemuka dalam Seminar Internasional "Big Data Analysis for Improving Health Policy" di Yogyakarta, Rabu (7/11/2018). Dalam acara yang diadakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu hadir perwakilan dari lembaga penyelenggara jaminan kesehatan di Korea Selatan, Ghana, dan Inggris.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, mengatakan, Indonesia telah menjadi tempat belajar bagi penyelenggara jaminan kesehatan negara lain. Mereka ingin berbagi pengalaman bagaimana mengelola jaminan kesehatan dengan jumlah peserta hingga 200 juta lebih yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia yang kondisinya sangat beragam.
Di saat yang sama Indonesia juga bisa belajar pada negara lain bagaimana membangun sistem jaminan kesehatan yang berkualitas dan mapan. "Setiap hari hampir 700.000 peserta memanfaatkan layanan JKN. Ini tentu menghasilkan data yang sangat besar yang bisa dianalisis untuk memperbaiki kualitas layanan," katanya.
Direktur Hubungan Internasional dan Kerja Sama National Health Insurance Service (NHIS) Korea Selatan, Inseok Yong, mengatakan, sistem informasi dan teknologi NHIS menerima 434 jenis data dari 39 lembaga pemerintah yang terkoneksi dengan sistem NHIS. Hingga kini NHIS memiliki 3,4 triliun data yang mencakup antara lain nama dan alamat peserta NHIS, aset, rekam medis, data kelahiran dan kematian, penyakit langka, kanker, juga hasil penapisan.
Data yang banyak itu kemudian diolah sedemikian rupa dan ditampilkan dalam sejumlah format dan aplikasi seperti misalnya My Health Bank Service yang merupakan layanan berbasis jaringan untuk mengecek rekam medis seseorang termasuk risiko kesehatannya. Ada pula Health Risk Appraisal (HRA) yang berguna untuk menilai risiko kesehatan seseorang dikaitkan dengan perilakunya. Aplikasi ini juga dilengkapi dengan panduan bagaimana menghindari faktor risiko kesehatan.
Selain itu, ada juga Infectious Disease Alarm Service yang memberikan prediksi penyakit infeksi apa yang berpotensi timbul di satu daerah dengan memadukan berbagai data mulai dari data kondisi iklim, polusi udara, keracunan makanan, dan surveilans penyakit.
Mengukur kualitas layanan
Sementara itu, Stephen Bewong, Deputi Direktur Sistem Bisnis National Health Insurance Authority (NHIA) Ghana, menyampaikan, data klaim yang dimiliki NHIA dimanfaatkan untuk mengukur kualitas layanan, menghitung prevalensi penyakit, termasuk deteksi pelanggaran (fraud).
Bahkan, di Ghana data yang besar juga telah dimanfaatkan dalam program tuberkulosis. Data besar pada NHIA digunakan untuk mengukur secara klinis efektivitas intervensi, manajemen pengadaan obat, beban penyakit, dan audit klinis.
Akan tetapi, upaya itu menghadapi tantangan tiadanya standar dan regulasi terkait rekam medis elektronik, biaya digitalisasi yang tinggi, pengelolaan sistem teknologi dan informasi yang lemah, serta integrasi data antarsistem informasi yang belum mapan.
Ketua Joint Learning Network Prof Ali Ghufron Mukti, menyampaikan, data yang besar bisa dimanfaatkan untuk mengevaluasi implementasi program Jaminan Kesehatan Nasional. "Big data yang ada harus dianalisis dan kemudian dilakukan identifikasi di mana kesenjangan antara peraturan dan pelaksanaannya di lapangan," kata Ghufron.
Fachmi menambahkan, BPJS Kesehatan telah menerima lima penghargaan internasional terkait teknologi informasi. Kelima penghargaan itu diberikan untuk aplikasi deteksi kecurangan, sistem rujukan yang efektif, klaim digital, Mobile JKN, penanganan keluhan peserta.
Dalam paparannya, Direktur Jaminan Pelayanan BPJS Kesehatan Maya Amiarny Rusady, mengutarakan, sistem yang dapat mendeteksi kecurangan adalah Defrada (Deteksi Potensi Fraud dengan Analisa Data Klaim). Selama ini telah teridentifikasi 79.000 klaim rumah sakit yang janggal. Potensi kekeliruan pembayaran akibat klaim yang janggal itu sebesar Rp 48 miliar. Dengan Defrada potensi itu bisa dicegah sehingga klaim yang dibayar telah sesuai dengan diagnosis dan tindakan yang diberikan.