Saat Warga Teheran Berjuang di Tengah Kesulitan akibat Sanksi Ekonomi
Oleh
Benny Dwi Koestanto
·3 menit baca
Heidar Fekri yang berusia 70 tahun telah menjual peralatan industri lewat tokonya yang kecil di sebuah pasar di Teheran sejak sebelum revolusi. Akan tetapi, untuk pertama kalinya, saat ini dia tidak yakin dapat bertahan hidup. Ia benar-benar merasakan sebuah keputusasaan.
”Rak saya kosong, gudang saya kosong, dan mungkin saatnya kini harus menutup pintu. Ini adalah seluruh hidup saya. Saya tidak akan bertahan lama setelah pintu itu ditutup,” tutur Fekri.
Ekonomi Iran telah memiliki banyak masalah, bahkan sebelum Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan pada Mei lalu untuk membatalkan kesepakatan nuklir 2015 dan menerapkan kembali sanksi yang bersifat ”melumpuhkan” Teheran serta warganya. Langkah Washington itu menambah rekor penurunan mata uang Iran, terjun sekitar 70 persen pada tahun lalu, dan mendorong eksodus perusahaan asing. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan sanksi AS yang bakal diterapkan kali ini bisa menjerumuskan negara itu ke dalam resesi dan mengakibatkan ekonomi Iran menyusut 3,6 persen tahun depan.
Bagi warga seperti Fekri, yang telah menjual produk pompa industri dan bor dari Eropa selama 47 tahun terakhir, ketidakpastian itu berarti dirinya tidak mengimpor apa pun selama lebih dari setahun terakhir. ”Penjualan telah turun 90 persen dibandingkan dengan enam bulan lalu. Seluruh pasar sedang menderita,” katanya.
Hampir semua produk di Iran—mulai dari obat-obatan, suku cadang pesawat, hingga botol plastik—terikat dalam rantai pasokan global sehingga keruntuhan mata uang dan isolasi baru mengancam setiap sudut kehidupan masyarakat negeri itu. Bagi kelas menengah, mungkin pukulan terbesar yang dirasakan adalah dari sisi psikologis karena harapan tinggi yang menyertai kesepakatan nuklir pada tahun 2015 telah menguap.
”Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya diinginkan orang Amerika. Kami melakukan semua yang mereka inginkan dan itu tidak cukup. Ini terasa seperti sebuah perundungan,” kata Sam Cordier, Kepala Periklanan PGt, yang mewakili klien asing seperti British Airways dan Nestle di Teheran.
Washington mengatakan, sanksi atas Iran yang terbaru dirancang untuk membatasi kegiatan yang bersifat ”mengganggu” oleh negara itu di Timur Tengah. Namun, banyak pihak yang melihat upaya AS itu justru sebagai upaya untuk memicu revolusi.
”Tidak adil bagi AS untuk menghasut kekerasan. Jika ini terus berlanjut, semua pengusaha profesional yang sudah berinvestasi baik modal maupun pengetahuan akan pergi (dari Iran),” kata Cordier.
Dia seperti dipaksa memecat enam dari 30 stafnya dan mengurangi gaji sisa pegawainya, satu demi satu. Klien asingnya mengemasi tas-tas mereka. ”Saya menangis setiap 10 menit ketika saya memberi tahu mereka. Ini adalah orang-orang yang terluka. Banyak orang muda, berpendidikan yang meninggalkan negara,” katanya.
Kritik ke dalam
Ada banyak kebencian terhadap pemerintahan Trump, tetapi banyak juga warga Iran yang menimpakan kesalahan kepada pemerintah mereka sendiri. Pemerintah dinilai tidak melindungi mereka dengan lebih baik.
”Ya, AS melakukan hal-hal buruk, tetapi mereka mencari kepentingan mereka. Jika negara kami memperhatikan kepentingan Iran, kami tidak akan mengalami situasi sekarang,” ujar Erfan Yusufi (30) yang kedai kopi barunya sedang berjuang untuk mengatasi kenaikan harga serta penurunan permintaan.
Pemimpin Iran memang harus menghadapi tindakan penyeimbangan yang rumit, yang masih tersisa untuk menghadapi tekanan AS. Pada saat bersamaan, pemerintah harus ”mengakui” rasa sakit di sektor ekonomi yang dirasakan di negara itu.
”Kami semua memahami warga yang menderita dan di bawah tekanan,” kata Presiden Hassan Rouhani kepada parlemen akhir pekan lalu. ”Kami tidak bisa memberi tahu rakyat kami bahwa gara-gara tekanan AS, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Jawaban semacam ini tidak dapat diterima,” tuturnya.
Rouhani menyalahkan media asing karena ”mengisi pikiran orang dengan propaganda palsu” tentang harga yang melonjak meskipun bank sentral Iran sendiri mengatakan harga makanan naik 46,5 persen pada tahun hingga September lalu. (AFP)