YOGYAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi siber tidak hanya membawa manfaat dalam berbagai bidang, tetapi juga menghadirkan ancaman serangan siber yang merugikan. Selama ini, perusahaan-perusahaan dan berbagai lembaga di Indonesia juga kerap menjadi sasaran siber sehingga kesadaran dan kesiapan untuk menghadapi serangan semacam itu mesti ditingkatkan.
”Kita harus memahami keamanan siber dan terus menyebarkan informasi mengenai pentingnya keamanan siber,” kata Presiden Direktur Microsoft Indonesia Haris Izmee dalam acara CEO Talk yang digelar Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada (UGM), Selasa (6/11/2018), di Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta.
Haris menjelaskan, Microsoft Indonesia dan perusahaan konsultan bisnis Frost & Sullivan pernah melakukan studi mengenai serangan siber di Indonesia. Hasil studi menunjukkan, sekitar 22 persen perusahaan di Indonesia mengatakan pernah mengalami masalah keamanan siber.
Sementara itu, sekitar 27 persen perusahaan di Indonesia menyebutkan tidak pernah melakukan pengecekan keamanan siber sehingga mereka tidak tahu apakah sistem mereka pernah mengalami serangan siber atau tidak. Kondisi ini menunjukkan, banyak perusahaan dan lembaga di Indonesia berada dalam ancaman serangan siber.
Haris menuturkan, serangan siber bisa menghadirkan berbagai kerugian, baik yang bersifat langsung maupun tidak. Kerugian langsung, misalnya, berupa penurunan pendapatan, penurunan produktivitas, denda, dan masalah hukum.
Adapun kerugian tidak langsung antara lain protes dari pelanggan, jebloknya reputasi perusahaan, dan hilangnya pekerjaan dari klien. ”Serangan siber memiliki sejumlah dampak yang berkait dengan kerugian ekonomi,” ujar Haris.
Studi Microsoft Indonesia dan Frost & Sullivan menunjukkan, sekitar 22 persen perusahaan di Indonesia mengatakan pernah mengalami masalah keamanan siber.
Dia menambahkan, berdasarkan penghitungan Frost & Sullivan, nilai kerugian akibat serangan siber di Indonesia diperkirakan mencapai 34,2 miliar dollar AS. Nilai itu tentu sangat besar karena mencapai 3,7 persen dari total produk domestik bruto Indonesia tahun 2016 yang mencapai 932 miliar dollar AS.
Oleh karena itu, masalah keamanan siber seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemangku kepentingan di Indonesia. Sayangnya, masih banyak pihak di Indonesia yang memiliki pandangan normatif tentang keamanan siber.
Haris menuturkan, berdasarkan studi yang dilakukan kepada pemimpin perusahaan-perusahaan di Indonesia, sekitar 54 persen responden memandang keamanan siber hanya penting untuk menangkal serangan siber dari pihak lain. Sementara hanya 19 persen responden yang menilai keamanan siber sebagai syarat penting untuk melakukan transformasi digital.
Di sisi lain, studi itu juga menunjukkan, sekitar 61 responden mengatakan baru memperhatikan masalah keamanan siber ketika proses transformasi digital di perusahaan sudah dimulai. Padahal, seharusnya masalah keamanan siber sudah diperhatikan sebelum transformasi digital dimulai.
Oleh karena itu, Haris mengajak semua pihak untuk lebih memahami keamanan siber agar bisa benar-benar menangkal serangan siber. ”Keamanan siber harus menjadi bagian dari transformasi digital, bukan sekadar memasang alat baru,” ujarnya.