PALU, KOMPAS - Vakum lebih dari sebulan karena gempa, Universitas Tadulako, Palu, kembali menggelar perkuliahan tatap muka, Senin (5/11/2018). Namun, mayoritas kuliah di kampus terbesar di Sulawesi Tengah itu digelar di tenda-tenda.
Gempa bermagnitudo 7,4 pada 28 September 2018 membuat sejumlah bangunan di kompleks Universitas Tadulako (Untad) rusak. Sejumlah mahasiswa, dosen, dan karyawan Untad mengungsi dan mencari keluarga mereka.
Sebagian mahasiswa bahkan mengungsi ke luar Sulteng, hingga ke Pulau Jawa. Untuk tetap dapat mengkases pendidikan, Untad juga menjalin kerja sama program kuliah sit in, menitipkan mahasiswanya belajar di sejumlah universitas lain.
Rektor Untad Muhammad Basir Cyio, ditemui Senin (5/11/2018) mengatakan, kendati tidak ada kuliah tatap muka sebulan terakhir, proses perkuliahan tetap berjalan. Selama ini, kegiatan akademik tidak berhenti, karena pihak universitas membagikan subtopik bahasan untuk semua mata kuliah melalui laman resmi universitas.
“Melalui bahan kuliah tersebut, diharapkan mahasiswa tetap belajar dan mengerjakan tugas kendati tidak ada kuliah tatap muka. Kuliah tatap muka memang baru kembali digelar hari ini (Senin),” ujar Basir.
Jumlah mahasiswa Untad sekitar 42.000 orang, tapi hanya sekitar 38.000 yang aktif. Sekitar 2.000 mahasiswa mengikuti program sit in sehingga diperkirakan ada 36.000 mahasiswa yang dapat mengikuti kuliah tatap muka perdana dalam tiga hingga empat hari ke depan.
Terkait tenaga pengajar, Basir mengatakan sebagian sudah siap untuk kembali memberikan kuliah. Data Untad, dua dosen ditemukan meninggal dan beberapa dosen masih hilang.
“Sebagian besar kuliah tatap muka terpaksa digelar di tenda-tenda, karena gedung-gedung perkuliahan rusak. Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik rusak total, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan kondisinya 80 persen rusak. Hanya Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kesehatan Masyarakat yang siap 100 persen,” kata dia.
Untad tetap akan menggelar wisuda untuk 902 mahasiswa pada 8 November 2018.
Basir mengatakan, perkuliahan harus segera diaktifkan lagi untuk membangun semangat kebangkitan. Jika perkuliahan dibiarkan kosong, berarti memperpanjang masa duka.
Oleh karena itu, meski masih serba terbatas, Untad tetap akan menggelar wisuda untuk 902 mahasiswa pada 8 November 2018. Bagi mahasiswa tahap penyelesaian skripsi dan tesis, Basir memastikan tetap berjalan normal.
“Bila dosen pembimbing skripsi tidak ada informasi, segera ganti pembimbing. Dosen pembimbing pengganti juga harus sukarela menerima mahasiswa tanpa perlu menyarankan untuk ganti judul,” ujar dia.
Aktivitas sekolah
Selain perkuliahan, sejumlah sekolah juga sudah memberikan materi pelajaran. Materi diberikan diselingi pemulihan syok pascabencana.
Salah satu sekolah yang sudah memberi pelajaran ialah SD Negeri Inpres 6 Lolu. Kendati proses belajar-mengajar di tenda, para guru mulai menyisipkan materi-materi pelajaran formal. Dari 266 siswa, 130 di antaranya sudah aktif belajar. Sebagian besar guru juga telah aktif.
“Saat ini pemulihan syok pascabencana sudah mulai kami kurangi, terutama untuk siswa kelas 6. Mereka harus disiapkan menghadapi ujian akhir Desember dan ujian nasional yang biasanya digelar Mei,” ujar Arham, Kepala SDN Inpres 6 Lolu.
Arham mengatakan, pihaknya sangat terbuka dengan kedatangan relawan. Namun, ia berharap relawan tak hanya mengajar atau mengajak siswanya bernyanyi, tetapi juga menyampaikan materi pelajaran formal.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Untad Lukman Nadjamuddin mengatakan, saat ini pemulihan syok pascabencana masih dibutuhkan untuk para pelajar. Hal itu disebabkan secara psikologis, anak-anak belum dalam kondisi stabil.
“Dalam kondisi ini, bila pelajaran didominasi pengetahuan kognitif-substanstif, anak-anak tidak dapat menerima materi tersebut. Perlu peran orangtua dan keluarga untuk ikut menemani anak-anak belajar materi pelajaran formal. Masalahnya, dalam kondisi seperti ini, keluarga mungkin juga belum siap,” kata Lukman.
Oleh karena itu, FKIP Untad mencoba mengambil peran dengan memberikan pelajaran pada sore hari di beberapa titik pengungsian. Materi pelajaran berupa pengetahuan kognitif yang disertai penguatan afektif.
Pemulihan syok pascabencana, kata Lukman, memang tidak bisa terus menerus diberikan. Secara perlahan, program tersebut dikurangi agar para pelajar tidak terlalu lama larut dalam kesedihan dan suasana bencana.