Isu keberlanjutan industri minyak kelapa sawit tidak hanya terkait dengan masalah lingkungan hidup yang sering menjadi sasaran kampanye negatif di Eropa terhadap industri sawit.
Dalam pertemuan Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) di Bali, akhir pekan lalu, terungkap bahwa keberlanjutan industri sawit terkait dengan kenyataan bahwa produk minyak sawit dan turunannya terus berlanjut menjadi kebutuhan dunia. Minyak sawit dibutuhkan oleh konsumen dunia baik untuk produk makanan olahan, produk industri nonpangan, seperti sabun dan kosmetik, serta produk energi, khususnya biodiesel. Minyak sawit dinilai lebih produktif dan efisien dibandingkan minyak nabati jenis lainnya.
Produksi minyak sawit Indonesia, kini menjadi negara produsen terbesar, diperkirakan terus tumbuh untuk memenuhi kebutuhan dunia. Sebagai gambaran, produksi produk minyak sawit dan turunannya di Indonesia tahun 2017 mencapai 42,04 juta ton. Tahun lalu, volume ekspor minyak sawit mencapai 31,05 juta ton senilai 22,96 miliar dollar AS atau sekitar Rp 321 triliun dengan nilai tukar rupiah Rp 14.000 per dollar AS.
Produksi tahun lalu tercatat naik dibandingkan tahun 2016 yang 35,57 juta ton dengan volume ekspor 25,11 juta ton senilai 18,21 miliar dollar AS. Pada periode Januari-Agustus 2018, produksi produk minyak sawit dan turunannya 30,67 juta ton. Produksi tahun ini diperkirakan tidak bertambah siginifikan karena harga sawit masih relatif rendah sehingga insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi atau melakukan panen menjadi berkurang.
Dengan nilai produksi dan ekspor yang cukup besar, serta dampak industri sawit terhadap penyerapan tenaga kerja dan pengurangan kemiskinan, keberlanjutan industri sawit perlu terus dipertahankan dan dikembangkan. Keberlanjutan tidak hanya dari sisi produksi dan ekspor, tetapi juga dari pengembangan produk bernilai tambah dengan dukungan riset dan teknologi.
Selama jumlah penduduk dunia bertambah, kebutuhan produk minyak sawit dan turunannya untuk produk makanan dan industri diperkirakan akan terus bertambah. Demikian pula dengan tren penggunaan energi yang lebih bersih di dunia akan mendorong produk sawit untuk biodiesel.
Misalnya, kebutuhan minyak sawit dan biodiesel di China yang semakin besar akibat pengaruh pembatasan impor kedelai dari Amerika Serikat. Pasar India sebagai pasar utama produk minyak sawit Indonesia juga masih besar. Indonesia pun berkomitmen tinggi melaksanakan kebijakan perluasan penggunaan solar dengan campuran minyak sawit sebesar 20 persen atau B20 dengan pangsa pasar sebesar 6 juta ton per tahun.
Bagaimana meningkatkan produksi dan produktivitas perkebunan kelapa sawit untuk bisa menyuplai kebutuhan dunia, baik untuk produk makanan, produk industri, dan produk energi, menjadi tantangan di Indonesia. Upaya peningkatan produksi itu tidak hanya bisa semata-mata bergantung pada perkebunan industri, tetapi juga petani swadaya.
Data menunjukkan, dari 14,03 juta hektar kebun kelapa sawit, 5,61 juta hektar (40 persen) di antaranya dikelola oleh petani berskala kecil (smallholders), 0,71 juta hektar (5 persen) dikelola oleh BUMN, dan 7,70 juta hektar (55 persen) dikelola perusahaan swasta.
Oleh karena itu, pemberdayaan petani swadaya menjadi penting. Caranya, perjelas legalitas lahan petani swadaya melalui peninjauan kembali status lahan, termasuk lahan yang dikategorikan sebagai hutan, dan program sertifikasi.
Legalitas lahan menjadi kunci pengelolaan perkebunan kelapa sawit dengan prinsip keberlanjutan. Sebab, dengan legalitas lahan, petani atau kelompok petani sawit dapat mengakses dana perkebunan sawit untuk program penanaman kembali (replanting) ataupun memenuhi standar Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
Melalui berbagai upaya keras untuk memberdayakan petani swadaya, program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG’s) pun dapat terimplementasi di industri kelapa sawit. Program SDG’s itu antara lain mengurangi jumlah kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan akses masyarakat terhadap kesehatan dan pendidikan, serta meningkatkan kegiatan dan pertumbuhan ekonomi yang sangat dibutuhkan Indonesia sebagai negara berkembang untuk memacu ekonomi agar tumbuh lebih tinggi.