Seksualitas dan Kesejahteraan
Menurunnya frekuensi seksualitas memang belum menjadi persoalan penting di Indonesia. Di luar persoalan kuatnya penabuan, situasi bisa dianggap wajar mengingat Indonesia saat ini masih berusaha menekan jumlah kelahiran. Namun, di sejumlah kota besar, isu itu harusnya mulai menjadi perhatian demi menjaga penduduk agar tetap tumbuh seimbang serta menjaga kesehatan dan kesejahteraan warga.
Turunnya frekuensi hubungan seksual masyarakat itu memang masih dugaan berdasarkan analisis sejumlah indikator hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017. Namun, pengalaman sejumlah warga perkotaan memang mengarah ke situasi tersebut. Beban kerja, tekanan ekonomi dan sosial, hingga kelelahan dan stres membuat sebagian masyarakat kurang memperhatikan aktivitas seksualnya.
Beban kerja, tekanan ekonomi dan sosial, hingga kelelahan dan stres membuat sebagian masyarakat kurang memerhatikan aktivitas seksualnya.
Pengalaman praktik seksolog yang juga Ketua Bagian Andrologi dan Seksologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar, Wimpie Pangkahila, pun belum menunjukkan turunnya frekuensi seksual masyarakat. Keluhan utama pasien masih seputar masalah gangguan ereksi dan ejakulasi dini. Namun, perempuan makin berani mengungkapkan ketidakpuasannya ketika melakukan hubungan suami-istri.
Memang tidak ada ketentuan berapa kali hubungan suami-istri seharusnya dilakukan dalam seminggu. Meski demikian, jika kurang, hal itu tentu akan menimbulkan ketidakpuasan. ”Hubungan seksual yang sehat semestinya dilakukan karena kesepakatan kedua pihak, terserah berapa kali. Namun, harus bisa memuaskan kedua belah pihak,” ujarnya.
Di Indonesia, persoalan hubungan suami-istri memang belum jadi isu penting dalam pembangunan. Hal itu wajar mengingat tingkat fertilitas Indonesia masih tergolong tinggi meski telah menurun. Saat ini, pemerintah fokus berupaya menurunkan tingkat fertilitas secara nasional hingga mencapai 2,1 anak pada 2020 yang menunjukkan penduduk tumbuh seimbang.
Selain itu, saat ini Indonesia masih berada pada transisi fertilitas ketiga yang ditandai dengan turunnya fertilitas secara tajam selama beberapa dekade terakhir. Negara-negara yang berada dalam kelompok transisi ini umumnya berada pada kelompok negara dengan pendapatan atau ekonomi menengah.
Negara-negara maju umumnya berada pada transisi fertilitas keempat atau terakhir. Di negara-negara tersebut, tingkat fertilitas tetap rendah selama beberapa dekade terakhir. Negara dengan populasi menua itu saat ini umumnya kekurangan tenaga produktif sehingga harus mendatangkan tenaga kerja produktif dari negara lain.
Frekuensi
Tingkat fertilitas memang tidak selalu berkorelasi dengan frekuensi hubungan seksual masyarakat. Namun, sejumlah riset membuktikan, rendahnya intensitas hubungan seksual masyarakat suatu negara berhubungan dengan rendahnya tingkat fertilitas warganya. Jika berhubungan suami-istri saja enggan, bagaimana mereka bisa melahirkan keturunan?
Jean M Twenge dkk dalam ”Declines in Sexual Frequency among American Adults, 1989-2014” yang dipublikasikan di Archives of Sexual Behavior, November 2017, menunjukkan frekuensi orang Amerika Serikat berhubungan seks turun 15 persen dari akhir 1990-an hingga awal 2010. Sebelumnya mereka berhubungan seks 62 kali setahun atau 5,2 kali sebulan atau 1,2 kali seminggu. Kurang dari dua dekade, intensitasnya turun menjadi 53 kali setahun, 4,4 kali sebulan, atau sekali seminggu.
Penurunan tersebut terjadi pada semua jenis kelamin, ras, wilayah, tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Namun, penurunan hubungan seksual itu terbesar terjadi pada kelompok yang menikah.
Penurunan hubungan seksual itu terbesar terjadi pada kelompok yang menikah.
Situasi serupa terjadi di Inggris. Survei Perilaku Seksual dan Gaya Hidup Nasional (Natsal) 2013 menemukan responden berumur 16-44 tahun melakukan hubungan seks 5 kali sebulan atau 1,2 kali seminggu. Padahal, survei serupa pada 2000 masih menunjukkan responden laki-laki berhubungan seks 6,2 kali sebulan dan perempuan 6,3 kali sebulan atau 1,6 kali seminggu.
Sementara itu, di Australia, Survei Perilaku Seksual Nasional Australia 2014 menunjukkan kelompok heteroseksual di sana berhubungan seks 1,4 kali seminggu atau 5,6 kali per bulan. Pada 10 tahun sebelumnya, intensitasnya masih 1,8 kali seminggu atau 7,2 kali sebulan.
Kondisi di Jepang mungkin dianggap yang paling mengkhawatirkan. Survei Perkumpulan Keluarga Berencana Jepang (JFPA) seperti dikutip dari nippon.com, 23 Februari 2017, menyebutkan 47,2 persen pasangan yang menikah di Jepang tidak melakukan hubungan seksual sama sekali selama minimal satu bulan. Jumlah itu lebih tinggi 15,3 poin dari survei serupa yang dilakukan pada 2004.
Kekurangtertarikan warga Jepang terhadap seks itu sudah terjadi sejak muda.
Survei Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang dikutip dari japantimes.co.jp, 29 April 2012, menunjukkan laki-laki umur 16-19 tahun yang tidak tertarik atau enggan dengan seks meningkat dari 17,5 persen pada 2008 menjadi 36,1 persen pada 2010. Sementara laki-laki 20-24 tahun juga naik dari 11,8 persen (2008) menjadi 21,5 persen (2010).
Tren serupa terjadi pada perempuan muda. Perempuan 16-19 tahun yang tidak tertarik atau enggan melakukan hubungan seks naik dari 46,9 persen (2008) menjadi 58,5 persen (2010). Sementara pada perempuan 20-24 tahun bertambah dari 25 persen (2008) menjadi 35 persen (2010).
Namun, turunnya hasrat seksual pada anak muda itu juga terjadi di banyak negara. Studi Twenge dkk (2015) menunjukkan generasi milenial (generasi Y) melaporkan paling sedikit berhubungan seksual dibandingkan generasi X dan generasi baby boomer saat mereka berada pada usia yang sama. Generasi milenial lahir antara tahun 1980-an dan awal 2000. Sementara generasi X lahir pada 1960-1980 dan generasi baby boomer lahir pada 1940-1960.
Studi Twenge dkk (2015) menunjukkan generasi milenial (generasi Y) melaporkan paling sedikit berhubungan seksual dibandingkan generasi X dan generasi baby boomer saat mereka berada pada usia yang sama.
Generasi milenial menghadapi kekhawatiran terkait pekerjaan, perumahan, ketakutan akan perubahan iklim, serta rusaknya ruang-ruang komunal dan kehidupan sosial semuanya berkorelasi dengan masalah kesehatan mental.
Turunnya frekuensi hubungan seksual itu menjadi perhatian serius. Sejumlah riset menunjukkan, makin sering pasangan berhubungan seksual, makin tinggi pula tingkat kepuasan mereka atas hubungannya. Karena itu, intensitas hubungan seksual sering dikaitkan dengan kebahagiaan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat.
”Makin sering pasangan berhubungan seksual, makin mesra pula sikap mereka kepada pasangannya,” kata Direktur Laboratorium Kesehatan Reproduksi dan Hubungan (SHaRe) yang juga asisten profesor di Departemen Psikologi Universitas York, Kanada, Amy Muise dalam ”More Than ’Just’ Sex: Affection is One Reason Sex is Linked to Greater Well-Being” di luvze.com, 9 Desember 2016.
Pasangan yang lebih sering melakukan hubungan seks akan memiliki banyak emosi positif, seperti rasa gembira dan kekaguman. Emosi itu membuat mereka menjadi lebih mesra dengan pasangannya sehingga hubungan mereka akan dipenuhi dengan kasih sayang. Emosi positif setelah berhubungan seksual itu bisa menjaga kepuasan atas sebuah hubungan hingga enam bulan sesudahnya.
Pasangan yang lebih sering melakukan hubungan seks akan memiliki banyak emosi positif, seperti rasa gembira dan kekaguman. Emosi positif diri itu biasanya juga akan menular ke masyarakat.
Emosi positif diri itu biasanya juga akan menular ke masyarakat. Karena itu, frekuensi hubungan seksual yang tinggi dianggap mampu tak hanya meningkatkan kesejahteraan diri, tetapi juga kesejahteraan masyarakat.
Walau demikian, Guru Besar Psikologi di Universitas Monmouth West Long Branch, Amerika Serikat, Gary W Lewandowski Jr dalam ”More Sex and Happy Relationship; It’s Automatic” di luvze.com, 3 Mei 2017, mengingatkan bahwa ukuran banyak tidaknya frekuensi hubungan seksual itu bisa sangat relatif. Sebagian orang mungkin menginginkan hubungan seksual yang lebih banyak, tetapi pasangan lain bisa jadi ingin hubungan seksual yang lebih sedikit tapi berkualitas.
Kesehatan
Tak hanya bermanfaat bagi kesehatan jiwa, hubungan seksual juga memberikan banyak keuntungan pada kesehatan fisik.
P Rerkpattanapipat dkk dalam ”Sex and the Heart: What is the Role of Cardiologist?” di European Heart Journal, Februari 2001, menyebut hubungan seksual bagus bagi kesehatan jantung. Hasrat seksual akan membuat denyut jantung meningkat dan mencapai puncaknya saat orgasme. Rata-rata detak jantung saat orgasme itu sama dengan denyut jantung saat melakukan latihan fisik ringan, seperti berjalan ke lantai atas melalui tangga.
Inilah yang membuat hubungan seksual tidak bisa disamakan dengan olahraga. Untuk hidup sehat, orang dewasa perlu melakukan latihan fisik sedang, seperti bersepeda atau jalan cepat, selama 150 menit seminggu.
Selain itu, hubungan seksual juga bisa menjadi penghancur stres. Mereka yang melakukan hubungan suami-istri memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak melakukan sama sekali. Adapun keintiman antarpasangan mampu memberikan rasa santai atau rileks. Pelukan atau pegangan tangan mampu menurunkan tekanan darah, menurunkan denyut jantung, dan akhirnya menjauhkan seseorang dari ketegangan.
Hubungan seksual bagus bagi kesehatan jantung. Hasrat seksual akan membuat denyut jantung meningkat.
Hubungan seksual juga bisa menangkis kehadiran penyakit. CJ Charnetski dan FX Brennan dalam ”Sexual Frequency and Salivary Immunoglobulin A (IgA)” di Psychological Reports, Juni 2004, menemukan bahwa mereka yang melakukan hubungan seks 1-2 kali seminggu memiliki kandungan antibodi A atau immunoglobulin A (IgA) lebih tinggi 30 persen dibandingkan yang tidak melakukan hubungan seksual sama sekali. Antibodi ini melindungi tubuh dari serangan bakteri dan virus.
Mereka yang sering melakukan hubungan seksual juga merasa lebih sehat. Studi ST Lindau dkk dalam ”A Study of Sexuality and Health among Older Adults in the United States” di The New England Journal of Medicine, Agustus 2007, menunjukkan, responden berumur 57-85 tahun yang melakukan hubungan seks menilai kondisi kesehatan mereka jauh lebih baik dibandingkan yang tidak melakukannya.
Tentu, itu bukan sekadar seks, melainkan hubungan seksual yang disertai rasa cinta. Mereka yang memiliki hubungan romantis kuat atau menikah akan merasa kesehatan mereka lebih baik. Dukungan emosional dan sosial dari pasangan itulah yang akan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Regenerasi
Manfaat penting hubungan seksual itu bukan hanya bagi kesehatan dan kesejahteraan warga. Isu ini penting bagi negara-negara maju yang didera rendahnya fertilitas selama lebih dari setengah abad dan disertai penuaan populasi yang cepat. Situasi itu bisa mengancam ekonomi dan keberlangsungan sebuah bangsa.
Kunio Kitamura, dokter kebidanan dan kandungan di Tokyo, Jepang, dalam bukunya Sex Kiraina Wakamono Tachi (Kaum Muda yang Enggan dengan Seks), 2011, seperti dikutip dari japantimes.co.jp, menyebutkan, keengganan kaum muda Jepang terhadap seks terus naik, tingkat fertilitas yang rendah, dan penuaan yang cepat bisa berdampak besar bagi ekonomi Jepang. Bahkan, situasi itu bisa memusnahkan bangsa Jepang.
Keengganan kaum muda Jepang terhadap seks terus naik, tingkat fertilitas yang rendah, dan penuaan yang cepat bisa berdampak besar bagi ekonomi Jepang. Bahkan, situasi itu bisa memusnahkan bangsa Jepang.
Saat ini, penduduk Jepang sekitar 127 juta jiwa. Jumlah populasi itu sudah stagnan sejak tahun 2000. Jika situasi itu terus berlanjut, penduduk Jepang diperkirakan akan tersisa kurang dari 100 juta pada 2046. Bahkan, Institut Riset Populasi dan Keamanan Sosial Nasional Tokyo memperkirakan penduduk Jepang hanya 45 juta pada 2105.
Sejumlah negara maju berupaya mendorong kenaikan fertilitas penduduknya dengan berbagai cara, termasuk memberikan sejumlah insentif agar warganya mau menikah dan memiliki anak. Namun, berbagai kebijakan afirmasi itu tetap sulit untuk mendorong kembali fertilitas warganya. Investasi besar untuk meningkatkan fertilitas itu pun belum tentu berhasil.
Beberapa negara memang berhasil meningkatkan kembali tingkat fertilitasnya. Itu pun kenaikannya tidak signifikan. ”Italia dan Perancis butuh waktu 15-25 tahun untuk bisa membalikkan tingkat fertilitasnya agar tidak terus turun,” kata Guru Besar Emeritus Kependudukan Universitas Nasional Australia Gavin W Jones di sela Konferensi Internasional Tingkat Menteri dalam Kerja Sama Selatan-Selatan dan Triangular di Kuta, Bali, pertengahan September 2018.
Berbagai persoalan terkait kesehatan, kesejahteraan, dan keberlangsungan bangsa itu membuat isu frekuensi hubungan seksual perlu mulai menjadi perhatian di Indonesia, khususnya di daerah-daerah dengan tingkat fertilitas yang sudah lebih rendah dari fertilitas untuk penduduk tumbuh seimbang. Jika tidak, Indonesia bisa terjebak dalam masalah sama yang dialami negara-negara maju saat ini.