Meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular mengisyaratkan bahwa masyarakat harus mengubah gaya hidup. Manusia yang tidak sehat akan membebani negara.
JAKARTA, KOMPAS - Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 memperlihatkan prevalensi berbagai penyakit tidak menular meningkat dibandingkan dengan Riskesdas 2013. Masyarakat harus mengubah perilakunya dengan menghindari sejumlah faktor risiko penyebab penyakit tidak menular jika ingin terhindar dari kesakitan dan disabilitas serta tetap produktif hingga lanjut usia.
Penyakit tidak menular yang prevalensinya meningkat adalah kanker, stroke, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi. Kenaikan prevalensi penyakit tidak menular ini terkait erat dengan pola hidup yang antara lain seperti merokok, konsumsi minuman beralkohol, aktivitas fisik, serta konsumsi sayur dan buah.
Prevalensi merokok penduduk umur 10 tahun ke atas, misalnya, tidak berubah banyak dari tahun 2013 ke 2018, yaitu 29,3 persen menjadi 28,8 persen. Prevalensi merokok pada penduduk usia 10-18 tahun masih sebesar 9,1 persen, jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 sebesar 5,4 persen.
Prevalensi merokok pada penduduk usia 10-18 tahun masih sebesar 9,1 persen, jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2019 sebesar 5,4 persen.
Proporsi kurang aktivitas fisik pada penduduk di atas umur 10 tahun juga naik dari 26,1 persen tahun 2013 menjadi 33,5 persen tahun 2018. Penduduk umur di atas lima tahun yang kurang mengonsumsi sayur dan buah pun masih mengkhawatirkan, yaitu 95,9 persen, atau naik dari tahun 2013 yang sebesar 93,5 persen.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menegaskan, kesakitan yang terjadi pada masyarakat berada di hilir. Masyarakat harus berpikir menarik ke hulu mengapa sampai jatuh sakit. Karena kejadian penyakit tidak menular berhubungan dengan sejumlah faktor risiko terkait gaya hidup maka perilaku masyarakat pun harus mulai berubah.
“Paradigmanya harus berubah dari paradigma sakit menjadi paradigma sehat. Manusia sehat ini yang bisa produktif dan menguntungkan bangsa. Sampai lansia juga harus tetap produktif,” kata Nila usai peluncuran hasil Riskesdas 2018 di Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat (2/11/2018).
Membebani
Nila menambahkan, penduduk yang sakit akan menjadi tidak produktif. Apabila mengalami penyakit tidak menular yang menahun atau kronis maka kualitas hidup pun akan menurun. Kondisi ini terus berlangsung hingga lanjut usia. Dengan jumlah penduduk lanjut usia yang terus bertambah seiring meningkatnya usia harapan hidup maka lansia yang sakit akan menimbulkan beban baik beban kesehatan maupun ekonomi.
Dengan jumlah penduduk lanjut usia yang terus bertambah seiring meningkatnya usia harapan hidup maka lansia yang sakit akan menimbulkan beban baik beban kesehatan maupun ekonomi.
Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup dengan menerapkan pola hidup sehat menghindari faktor risiko mau tidak mau perlu dilakukan agar terhindar dari penyakit tidak menular. “Dengan pendekatan keluarga yang kami punya masih-masing keluarga diberi informasi dan didorong agar menerapkan hidup bersih dan sehat,” ujar Nila.
Kesehatan merupakan fundamental ekonomi. Penduduk yang sehat dan produktif dapat berkontribusi pada perekonomian. Untuk itu, pengambil kebijakan di berbagai tingkat juga perlu mendorong agar masyarakat tetap sehat dan terhindar dari penyakit.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes, Siswanto, menerangkan, pelaksanaan Riskesdas 2018 terintegrasi dengan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS). Analisis lebih lanjut terhadap sejumlah indikator bersama antara Riskesdas 2018 dan Susenas masih dilakukan dan akan diluncurkan bersama dengan BPS. Seperti misalnya data-data seputar program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Hasil Riskesdas 2018 dan Susenas menjadi bahan pengambilan kebijakan. Kebijakan pemerintah harus berbasis bukti,” katanya.
Setelah merilis hasil Riskesdas 2018 Kemenkes berencana untuk menganalisis Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM). Dengan begitu, akan bisa diketahui gambaran status kesehatan di tingkat daerah sehingga intervensi kebijakan yang diambil pun dapat menyesuaikan kondisi tersebut. “Intervensi masalah kesehatan di DKI Jakarta dan Nusa Tenggara Timur tentu akan berbeda,” ujar Nila.