JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah mengubah kebijakan wajib penempatan pusat data dan pusat pemulihan bencana di Indonesia dikhawatirkan bakal mengurangi minat investasi. Pemerintah disarankan mengkaji ulang rancangan kebijakan itu.
Kebijakan wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana diatur di Pasal 17 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Untuk memenuhi kewajiban ini, PP menyebutkan masa transisi selama lima tahun sejak diundangkan.
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika beralasan, perubahan PP karena tidak semua penyelenggara sistem dan transaksi elektronik mematuhi ketentuan itu. Alasan lainnya, PP tidak memuat sanksi.
Pendiri Asosiasi Big Data dan Artificial Intelligence (ABDI), Rudi Rusdiah, yang dihubungi Jumat (2/11/2018), di Jakarta, mengatakan sebaliknya. Sejak PP diundangkan hingga sekarang, sejumlah bisnis penunjang dan infrastruktur pusat data tumbuh subur di Indonesia.
Sejumlah perusahaan teknologi raksasa asing, seperti PT IBM Indonesia, PT Microsoft Indonesia, dan PT Dell Indonesia, menerima permintaan pengadaan peralatan server. Contoh lainnya, Cisco dan Palo Alto memperoleh permintaan bisnis pengadaan jaringan dan keamanan.
”Pemain pusat data raksasa asing lainnya, seperti Amazon dan Alibaba, kabarnya telah mengutarakan minat berinvestasi di Indonesia. Jadi, substansi PP No 82/2012 sudah bagus meskipun kami melihat ada kelemahan, terutama tidak ada sanksi jika penyelenggara sistem dan transaksi elektronik tidak patuh. Pemerintah semestinya cukup tambah sanksi,” tutur Rudi.
Tumbuh
Mengutip laporan riset IpSos Business Consulting, Rudi menyebutkan, pasar pusat data di Indonesia tumbuh dari 1,1 miliar dollar AS pada 2015 menjadi 1,8 miliar dollar AS pada 2017.
Menurut dia, belanja layanan penyimpanan data berbasis sistem komputasi awan pun ikut tumbuh. Sebagai gambaran, tahun 2012 nilai belanja hanya berkisar 160 juta dollar AS. Adapun pada 2017 nilainya naik menjadi 1,14 miliar dollar AS.
Lebih jauh, Rudi berpendapat, tren teknologi digital melahirkan aneka jenis serta volume data berukuran sangat besar. Sifat ”data” tersebut tidak berwujud. Oleh karena itu, pengaturan pengawasan yang menyasar ke ”data” akan sukar dilakukan.
”Kompromi utama semestinya menyasar ke menjaga kedaulatan negara. Pusat data berwujud dan infrastruktur fisiknya tampak. Mengawasi ini (pusat data) saja masih sukar,” lanjutnya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas memantau kualitas jaringan lalu lintas data dan suara di ruangan Network Operation Centre Telkomsel, Jakarta, Selasa (21/6/2016).
Sekretaris Jenderal Indonesia Data Center Provider Organization (IDPRO) Teddy Sukardi yang dihubungi secara terpisah menyampaikan pandangan senada. Kekhawatiran yang muncul lebih berkaitan dengan ketidakpastian iklim investasi infrastruktur serta peralatan pendukung pusat data.
Dari aspek finansial, dia mengatakan, kehadiran PP No 82/2012 mendorong efisiensi biaya penempatan pusat data. Dengan demikian, biaya dapat dialokasikan untuk kebutuhan inovasi.
Anggota IDPRO sebagai pelaku langsung menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar pusat data di Indonesia.
Menurut Teddy, PP No 82/2012 telah menyebut pentingnya lokalisasi pusat data untuk semua jenis layanan publik. Sebagai contoh, perbankan, transportasi, kesehatan, dan kependudukan.
Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan menegaskan, rencana perubahan PP No 82/2012 bertujuan ingin menciptakan iklim bisnis pusat data lebih kondusif. Kesetaraan perlakuan antara pemain lokal dan asing juga lebih tercipta.
”Kami juga sedang mengkaji insentif apa yang cocok bagi penyedia pusat data beserta perangkat pendukungnya yang sudi berinvestasi di Indonesia,” katanya.