Lagu Kebangsaan dan Perayaan KeIndonesiaan Kita
Sekitar 60.000 orang bergemuruh menyanyikan “Indonesia Raya” sebelum pertandingan perempatfinal Piala Asia U19 antara Indonesia melawan Jepang, 28 Oktober lalu, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Alunan instrumental lagu kebangsaan itu menghasilkan suasana magis yang mengharukan dan membanggakan.
Sudah 90 tahun waktu berlalu sejak lagu “Indonesia Raya” pertama kali dilantunkan melalui gesekan biola WR Soepratman di hadapan sekitar 80 orang yang menghadiri Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928.
Inspirasi Soepratman untuk menciptakan lagu kebangsaan itu didasari keseringannya berkumpul dan berbincang dengan sejumlah mahasiswa di “Langen Siswo” yang kini dikenal Museum Sumpah Pemuda. B Sularto dalam Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1982) mengungkapkan, setelah mendengar pidato tentang persatuan dari sejumlah tokoh pada Kongres Pemuda I 1926, hati Soepratman tergerak untuk menciptakan sebuah lagu yang dapat diterima sebagai lagu kebangsaan.
Oerip Kasansengari dalam bukunya Lagu Kebangsaaan Indonesia Raya dan WR Soepratman Penciptanya (1967) menyebutkan keinginan Soepratman menciptakan lagu kebangsaan hadir ketika ia membaca majalah Timbul terbitan Solo, Jawa Tengah, pada 1926. Dalam majalah itu muncul pertanyaan terkait kemungkinan komponis Indonesia yang dapat menciptakan lagu kebangsaan untuk menggelorakan semangat rakyat.
Ketika mengikuti secara seksama persiapan Kongres Pemuda II pada 1928, WR Soepratman pun teringat impiannya untuk menjadikan “Indonesia Raya” menjadi lagu kebangsaan. Untuk itu, ia meminta izin kepada sahabatnya, Soegondo Joyopoespito yang juga ketua panitia Kongres Pemuda II, untuk memperdengarkan lagu itu.
Sebelum tampil di acara akbar itu, Soepratman terlebih dahulu mendengarkan lagu itu berserta liriknya di hadapan para pandu (pramuka) di Jakarta. Pada Kongres Pemuda II, penampilan “Indonesia Raya” dilakukan tepat sebelum Soegondo mengumumkan tiga keputusan agung hasil kongres itu. Gemuruh tepuk tangan menjadi hadiah atas penampilan Soepratman.
Pasca Kongres Pemuda II, lagu “Indonesia Raya” disebarkan oleh kalangan para pandu. Kemudian, “Indonesia” semakin masif disebarkan melalui surat kabar, termasuk Sin Po yang menjadi tempat Soepratman berkerja. Selanjutnya, sejumlah koran dan majalah di Pulau Jawa ikut menyiarkan lagu itu dengan memuat naskah lagu beserta not balok dan not angka.
Sularto menjelaskan, para pemimpin pergerakan kebangsaan, pergerakan pemuda dan kepanduang, serta tokoh-tokoh pendidikan berjasa besar dalam penyebaran “Indonesia Raya”. Sebab, mereka menganjurkan lagu itu didengarkan dan dinyanyikan dalam setiap kesempatan, baik di sekolah maupun di lapangan.
Oerip menuliskan, peran Soekarno yang merintis kewajiban berdiri ketika mendengar lagu kebangsaan. Sebagai pemimpin umum Partai Nasional Indonesia, Soekarno mengundang Soepratman untuk mendengarkan lagu itu di pembukaan Kongres ke-2 PNI di Jakarta pada 1929. Sebelum lagu dimulai, Seokarno berujar, “Semua hadirin diminta berdiri untuk menghormati lagu kebangsaan Indonesia Raya”.
Kurang dari satu tahun setelah Kongres Pemuda II, “Indonesia Raya” disepakati oleh organisasi dan tokoh pergerakan nasional sebagai lagu kebangsaan. Tak lama setelah penetapan itu, pemerintah Hindia Belanda melarang lagu itu didengarkan. Soepratman pun menjadi sosok yang dicari. Hingga akhir hayatnya pada 17 Agustus 1938, Soepratman tidak pernah lagi memainkan dan memperdengarkan “Indonesia Raya” di muka umum.
Rekam ulang
Kini, alunan instrumental yang kita dengarkan dalam berbagai kesempatan, misalnya acara resmi hingga penyerahan medali emas pada ajang olahraga, merupakan versi terkini dari hasil rekam ulang pada 1997. Inisiator perekaman ulang itu ialah pimpinan Twilite Orchestra Addie Muljadi Sumaatmadja atau Addie MS.
Addie berkisah ketika pertama kali mendirikan Twilite Orchestra pada 1991, ia resah karena setiap kali mendengar “Indonesia Raya”. Kualitas lagu kebangsaan itu sudah tidak jernih dan penuh dengan noise. Penyebabnya, kondisi rekaman sudah berumur 40 tahun dan masih menggunakan teknologi analog, sehingga setiap kali digandakan level noise semakin bertambah yang mengurangi kualitas suara.
Dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (2003), Bondan Winarno menyebutkan, komponis berkebangsaan Belanda, Jozef Cleber atau Jos Cleber, yang membuat aransemen dari karya Soepratman itu. Cleber melakukan rekaman “Indonesia Raya” atas permintaan Kepala Radio RI Jakarta Jusuf Ronodipuro pada 1950.
Pada 1951, hasil aransemen baru itu selesai direkam dan didengarkan kepada Soekarno. Setelah dua kali melakukan revisi, Soekarno pun setuju dengan hasil aransemen Cleber. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indoesia Raya, pemerintah mengatur pengunaan lagu kebangsaan, termasuk larangan untuk mengubah aransemen lagu itu.
Dibantu pengusaha, Youk Tanzil, Addie merekam ulang lagu “Indonesia Raya” bersama Victorian Philharmonic di Melbourne, Australia, dengan format digital. Rekaman dilakukan bersama 60 musisi Australia. Addie sebagai konduktor menjadi satu-satunya warga Indonesia dalam proses itu.
Addie menuturkan, pilihan merekam ulang di Melbourne didasari keinginannya menghasilkan kualitas terbaik. Pada 1997, lanjutnya, ia belum menemukan kualitas musisi orkestra dan studio rekaman di Indonesia yang mampu memenuhi hasratnya untuk menghasilkan hasil rekam ulang yang monumental.
“Saat itu saya berpikir, kalau untuk bawa ‘Indonesia Raya’ di titik maksimal saya harus ke ujung dunia, saya akan ke sana,” ujar Addie, akhir Oktober lalu.
Hasil rekam ulang digital yang dilakukan Addie itu yang kini selalu kita dengarkan di berbagai kesempatan, baik di dalam maupun di luar negeri. Dan lagu “Indonesia Raya”, yang berdurasi 1 menit 47 detik, sejatinya adalah simbol untuk merayakan keIndonesiaan kita.