Festival Budaya Keturunan Portugis Digelar di GPIB Toegoe
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·3 menit baca
Umat Kristen Gereja Protestan Indonesia Barat Toegoe, Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, akan menggelar Festival Budaya Toegoe pada Minggu (4/11/2018). Dalam acara itu akan digelar penampilan Grup Keroncong Cafrinho, serta beragam tarian dan pertunjukan kebudayaan keturunan Portugis lainnya.
Ketua Ikatan Keluarga Besar Toegoe Erni Michiels mengatakan, Festival Budaya Toegoe telah digelar rutin sejak awal Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) berdiri pada tahun 1748. ”Sudah 270 tahun festival ini lestari di lingkungan kami, hanya nama dan kemasannya saja yang berubah,” kata Erni, Kamis (1/11/2018).
Pada masa lampau, Festival Budaya Toegoe merupakan pesta panen yang dirayakan warga keturunan Portugis dengan berdansa diiringi lagu keroncong. Namun, saat ini, pesta panen itu namanya diganti menjadi Festival Budaya Toegoe dan penyelenggaraannya dibarengkan dengan perayaan ulang tahun gereja.
Erni menuturkan, saat ini masih ada tersisa enam marga keturunan Portugis yang hidup di sekitar wilayah GPIB Toegoe, yaitu marga Michiels, Abrahams, Cornelis, Uwiko, Brone, dan Anris. Perkawinan campur yang terjadi tidak membuat mereka lantas melupakan identitasnya sebagai keturunan Portugis.
Bangunan GPIB yang sejak zaman pemerintahan Gubernur Ali Sadikin ditetapkan menjadi cagar budaya bukan hanya dianggap sebagai tempat ibadah. Umat keturunan Portugis di sana menganggapnya juga sebagai identitas budaya.
Di sebelah barat bangunan gereja terdapat makam keturunan Portugis yang sampai saat ini masih digunakan menyemayamkan jenazah anggota keluarga enam marga yang tersisa. Makam itu merupakan artefak yang menunjukkan jejak kehadiran keturunan portugis di Kelurahan Semper Barat sejak beberapa abad lampau.
Adapun Ketua Panitia Festival Budaya Toegoe Vanny Daloma mengatakan, acara ini juga digelar sebagai sarana untuk memelihara warisan kebudayaan keturunan Portugis yang masih tinggal dan hidup sebagai umat GPIB Toegoe. ”Harapan kami, acara ini bisa menyatukan keturunan Portugis yang saat ini terpencar di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Vanny bercerita, sejumlah benda yang menjadi bukti sejarah budaya Portugis masih diarsipkan dan dipelihara dengan baik. Benda-benda bersejarah itu kini disimpan di museum mini yang terletak juga di dalam kompleks gereja.
Di dalam museum itu, di antaranya tersimpan lonceng pertama GPIB yang digunakan sejak awal mula gereja berdiri hingga tahun 1977. ”Lonceng itu kalau dibunyikan suaranya keras sekali, bisa didengar umat yang tinggal berjarak lebih dari 5 kilometer dari gereja,” kata Erni.
Namun, Vanny mengatakan, kini umat GPIB Toegoe resah karena bangunan gereja mulai usang termakan usia. ”Plafon dan cat dinding mulai terkelupas di sejumlah sudut gereja,” ujarnya.
Ia menjelaskan, umat sudah berulang kali meminta izin kepada dinas kebudayaan setempat untuk memperbaiki bangunan gereja, tetapi belum juga mendapat tanggapan. ”Kami senang gereja ini jadi cagar budaya, tetapi tolong jangan dibiarkan bangunan jadi hancur karena proses perbaikan terbelit perizinan,” kata Erni. (PANDU WIYOGA)