Arus Kuat di Bawah Laut Hambat Pencarian Kotak Hitam
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
KARAWANG, KOMPAS — Pencarian kotak hitam dan jenazah korban pesawat Lion Air PK-LQP bernomor JT-610 oleh tim penyelam Polisi Air dan Udara Polda Metro Jaya, Jumat (2/11/2018), di lepas pantai Karawang, Jawa Barat, terhambat arus kuat di bawah permukaan laut. Waktu penyelaman yang hanya dibatasi sampai pukul 17.00 WIB juga menjadi kendala.
”Arus di bawah cukup kuat sehingga kami masih harus melihat situasi terkini dulu, apakah memungkinkan untuk turun dan melanjutkan penyelaman,” kata Ajun Komisaris Ibrahim Sajab, penyelam dari Detasemen Gegana Satuan Brigadir Brimob Polda Metro Jaya, tanpa merinci kekuatan arus. Hal itu dikatakan dalam jumpa pers di atas Kapal Polisi (KP) Parikesit yang melego jangkar di lokasi jatuhnya pesawat.
Berdasarkan pantauan Kompas, arus di permukaan cukup kuat dengan ombak yang mengombang-ambingkan kapal. Para anggota tim di kapal-kapal motor yang hendak merapa ke KP Parikesit harus berusaha keras untuk menambatkan tali tambang di antara kedua kapal karena kapal motor terus tergeser ombak. Meski demikian, cuaca relatif cerah tetapi berangin.
Pada siang hari, jarak pandang di laut tergolong normal, yaitu 2-3 meter. Namun, koordinat lokasi pencarian dari Badan SAR Nasional (Basarnas) yang memimpin tim pencarian gabungan baru diturunkan selepas shalat Jumat. Artinya, waktu penyelaman bagi tim penyelam kepolisian terbatas empat sampai lima jam hingga pukul 17.00.
Penyelam lain dari Satbrimob Polda Metro Jaya, Iptu Saptoharjo (45), mengatakan, dirinya belum sempat menyelam hingga Jumat siang karena derasnya arus di dalam air. Beberapa penyelam lain yang turun sekitar pukul 10.00 pun belum mendapatkan hasil. Kesempatan menyelam juga terbatas hanya 10 menit.
”Di kedalaman 30-35 meter, kalau lebih dari 10 menit, ada risiko terjadi dekompresi, semacam pembentukan gelembung udara dari nitrogen di darah yang menyumbat alirannya. Memang standar penyelaman begitu, harus dibatasi,” ujarnya.
Di samping itu, penyelam perlu menjaga kesehatan agar dapat memaksimalkan performa ketika menyelam. Saptoharjo menyebutkan, terkadang dirinya dan beberapa rekan di usianya merasa kelelahan dan kurang fokus karena sedikitnya waktu untuk tidur. ”Karena itu harus saling mengawasi saat turun secara berpasangan,” lanjutnya.
Adapun lumpur di dasar laut yang berketebalan sekitar 2 meter tidak mengganggu proses penyelaman. Namun, hingga kini, tim penyelam dari kepolisian belum dapat menemukan lokasi kotak hitam kedua berjenis perekam suara kokpit (cockpit voice recorder/CVR). CVR merekam percakapan di dalam kokpit, percakapan antara pilot dan kopilot, antara pilot dan awak kabin, serta antara pilot dan menara pengawas penerbangan.
Ibrahim mengatakan, timnya melakukan pencarian di sekitar tugboat Teluk Bajau Victory menggunakan KP Sepa 3004. Menurut keterangan Posko Basarnas di Jakarta International Container Terminal (JICT) 2, lokasi pencarian kepolisian berada di sisi utara pantai Karawang.
Pencarian dengan cara visualisasi permukaan laut juga terus berlanjut. Hingga Jumat sore, telah ditemukan beberapa bagian pesawat seperti tempat duduk dan sabuk pengaman yang diduga bagian dari pesawat Lion Air PK-LQP yang jatuh Senin, 29 Oktober. Barang-barang temuan tersebut segera dikumpulkan di JICT 2.
Kepala Polda Jawa Barat Irjen Agung Budi Maryoto mengatakan, untuk misi pencarian ini—bersama kepolisian air Polda Metro Jaya, Polda Jawa Barat, Polres Kepulauan Seribu, dan Baharkam Polri—dikerahkan 18 penyelam yang menyelam secara bergantian, tetapi saling berpasangan.
Di samping itu, dikerahkan juga 18 kapal kepolisian dengan beberapa jenis, termasuk kapal motor. ”Kami akan membantu Basarnas semaksimal mungkin dengan peralatan yang kami miliki,” kata Agung.
Sementara itu, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengatakan, kerja sama antarkepolisian dan dengan Basarnas, TNI, dan lain-lain adalah buah dari kolaborasi dalam penanganan bencana. Koordinasi oleh Basarnas adalah kunci utama berjalannya proses evakuasi ini. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)