SEOUL, RABU — Jepang dan Korea Selatan mengupayakan sengketa soal putusan Mahkamah Agung Korse tentang kompensasi bagi mantan pekerja paksa tidak berujung pada krisis diplomatik. MA Korsel, Selasa (30/10/2018), memutuskan dua perusahaan baja besar di Jepang, yakni Nippon Steel dan Sumitomo Metal Corp, harus memberikan ganti rugi masing-masing 87.680 dollar AS kepada empat warga Korsel karena mereka pernah dipaksa bekerja di pabrik baja pada 1941-1943. Dari keempat orang itu, hanya Lee Chun-sik (94) yang masih hidup dan akhirnya menerima keputusan setelah menunggu selama 14 tahun.
Jepang keberatan dan tidak percaya MA Korsel mengeluarkan keputusan seperti itu. Jepang berharap keputusan itu tidak memengaruhi kerja sama kedua negara dalam menangani isu Korea Utara yang pelik.
Kementerian Luar Negeri Korsel menjelaskan, Menteri Luar Negeri Korsel Kang Kyung-wha dan Menlu Jepang Taro Kono berkomunikasi melalui telpon, Rabu (31/10/2018), dan menyepakati perlunya tetap bekerja sama untuk masa depan.
”Jepang dan Korsel harus bekerja sama agar keputusan MA itu tidak berdampak buruk pada hubungan bilateral kita,” kata juru bicara Kemlu Korsel, Noh Kyu-duk.
Jepang dan Korsel sepakat perlunya kerja sama untuk menangani program rudal dan nuklir Korut. Dari data Korsel tahun lalu terlihat perusahaan-perusahaan Jepang berinvestasi sekitar 1,84 miliar dollar AS di Korsel. Jepang merupakan investor asing terbesar kedua untuk Korsel. Namun, hubungan kedua negara ini terganggu oleh penjajahan Jepang tahun 1910-1945 dan peperangan, termasuk isu ianfu atau perempuan yang dipaksa untuk bekerja sebagai perempuan penghibur.
”Kedua negara sepertinya kurang kompromis. Korea merasa Jepang tidak memperhatikan luka-luka masa lalu. Sebaliknya, Jepang merasa masalah itu sudah diselesaikan secara hukum. Jepang khawatir isu itu akan membuka kotak pandora dan berdampak pada perusahaan-perusahaan Jepang yang lain,” kata Direktur Studi Asia di Temple University kampus Jepang, Jeffrey Kingston.
Saat ini terdapat 14 berkas gugatan serupa terhadap perusahaan-perusahaan Jepang, seperti Mitsubishi Heavy Industries Ltd dan Mitsui Mining and Smelting Co Ltd. Namun, ke-14 gugatan itu masih ditahan. Dua kasus di antaranya gugatan class action dengan 752 penggugat. Korsel memperkirakan sedikitnya 150.000 orang pernah menjadi korban pekerja paksa di masa perang, 5.000 orang di antaranya masih hidup. Bagi yang telah meninggal, klaim bisa dilakukan oleh keluarga.
Jepang mengancam akan mengajukan kasus ini ke pengadilan internasional untuk menengahi perselisihan ini. Namun, sebelum melakukan itu, Jepang masih menunggu langkah apa yang akan dilakukan oleh pemerintahan Presiden Korsel Moon Jae-in.
Menurut seorang pejabat pemerintahan di Korsel, saat ini telah dibentuk tim khusus di bawah kepemimpinan perdana menteri untuk membahas isu itu. Bagi Korsel, isu ini juga tak mudah karena merupakan isu sensitif yang bisa berdampak panjang.
Bagi Jepang, masalah pemberian ganti rugi itu sudah diselesaikan dalam perjanjian normalisasi hubungan kedua negara pada 1965. Pemerintahan Korsel sebelumnya sudah tuntas membahas isu ini. Namun, MA Korsel mengatakan, perjanjian itu justru memberikan peluang bagi individu yang mau menuntut ganti rugi. Pemerintahan Moon menyatakan akan menghargai keputusan MA.
Korsel disarankan para ahli di Jepang untuk mengalokasikan dana khusus untuk memberikan ganti rugi kepada mantan pekerja dengan pembiayaan dari perusahaan di Jepang dan Korsel. Perusahaan-perusahaan Korsel mendapatkan keuntungan dari bantuan Jepang seperti yang sudah disetujui di perjanjian 1965. Pada tahun 2000, pemerintah dan perusahaan Jerman juga membuat alokasi dana pekerja paksa untuk memberikan ganti rugi kepada korban-korban pada masa kekuasaan Adolf Hitler. Korsel tidak yakin Jepang mau menggunakan model Jerman ini. Apalagi jika perusahaan Jepang harus ikut berkontribusi.
Mantan penasihat keamanan nasional Korsel, Chun Yung-woo, khawatir isu ini akan memicu kemarahan publik karena isu sejarah apa pun yang terkait Jepang bisa menghidupkan kembali sentiment anti-Jepang. ”Pasti akan terjadi perdebatan panas mengenai tanggung jawab pemerintah dan perusahaan yang mendapat manfaat dari dana Jepang dulu itu,” ujarnya. (REUTERS/AP)