Banyak orang menyangka hutan mangrove hanya dari jenis tumbuhan bakau. Padahal, masih ada jenis pohon lain, yaitu nipah (Nypa fruticans). Hutan mangrove sebenarnya terdiri atas berbagai jenis tumbuhan yang hidup di zona pasang surut. Tumbuhan itu dapat menahan erosi pantai dan air di bawah akar mangrove menjadi tempat hidup sejumlah satwa air, seperti ikan, udang, dan kepiting.
Nipah adalah salah satu tumbuhan mangrove jenis palma yang masih berkerabat dengan kelapa atau kelapa sawit. Tidak heran apabila bentuk pohon nipah mirip dengan kelapa sawit muda dan daunnya sangat mirip dengan kelapa.
Nipah merupakan tumbuhan penting untuk menjaga keutuhan ekosistem mangrove. Pohon itu biasanya menempati lokasi di pinggiran perairan dangkal seperti sungai pasang surut yang mendekat ke laut.
Di Indonesia, bagian nipah yang banyak dipakai adalah daun untuk membuat atap. Tulang daun yang disebut lidi dapat dijadikan sapu. Kalaupun ada bagian yang dapat dimakan adalah buahnya. Buah nipah mirip buah pinus, tetapi ukurannya jauh lebih besar. Desain buah nipah seperti kumpulan buah salak, tetapi melekat satu sama lain.
Untuk melepas buah nipah cukup sulit, biasanya menggunakan pisau atau parang. Setelah satu buah nipah terpisah dari rangkaiannya, daging buah diambil dengan cara membelahnya. Rasanya manis seperti kelapa atau buah lontar. Tangkai buah nipah mengeluarkan air seperti nira yang dapat dijadikan bahan untuk membuat gula merah.
Dalam satu dekade terakhir, lidi dan pelepah dari tangkai nipah memiliki nilai ekonomis cukup baik. Produk lidi nipah dan daun nipah diekspor ke beberapa negara tetangga, antara lain Malaysia, Thailand, dan India.
Dalam perjalanan Kompas ke Sapat, sebuah kelurahan di Kecamatan Kuala Indragiri Hilir, Riau (sebuah pulau kecil di perairan Indragiri, sekitar 340 kilometer dari Pekanbaru), akhir Oktober 2018, ditemukan banyak warga yang memiliki pencarian sebagai perajin lidi dan daun nipah. Lidi dan daun muda itu diambil dari tajuk daun yang masih kuncup. Bentuknya seperti tombak panjang.
Ketika tajuk kuncup dikupas, terdapat lidi yang masih lentur dan berwarna kuning muda. Daunnya persis seperti janur kelapa. Daunnya dilepas dari lidinya. Baik lidi maupun daun memiliki nilai ekonomis. Pada satu tajuk daun dapat dihasilkan masing-masing setengah kilogram lidi dan daun kering atau total 1 kilogram.
Rosadi (39), warga Sapat yang menjadi pengepul, mengatakan, dirinya membeli dari warga dalam bentuk lidi dan daun yang sudah kering. Harga pembelian lidi Rp 5.000 per kilogram dan daun Rp 5.500 per kilogram.
Dalam satu bulan, Rosadi dapat menampung 1 ton lidi dan daun dari warga. Kemudian, ia membawanya ke Sungai Piring untuk dijual lagi kepada pengepul besar. Dari Sungai Piring, barang dimaksud dibawa ke Medan untuk diekspor ke India.
Burhan (54), pengepul lainnya, menyebukan dapat mengumpulkan lidi dan daun nipah sebanyak 1,5 ton per bulan. Namun, ia memiliki usaha sampingan lain, yaitu produksi gula merah dari kelapa. Lidi, daun, dan gula kelapa itu juga dijualnya di Sungai Piring yang tidak jauh dari Sapat.
Uniknya, Rosadi dan Burhan tidak begitu paham kegunaan lidi dan daun nipah itu. Menurut Rosadi, konon, lidi itu akan dijadikan setangggi (seperti hio) untuk acara keagamaan di India. Adapun pucuk lidi dilebur untuk dijadikan bahan pencampur dinding plafon rumah seperti GRC.
”Saya baru satu tahun ini menjalankan usaha lidi dan daun nipah muda. Awalnya kami menjual ke Concong (tetangga kecamatan) yang kemudian dibawa ke Malaysia. Namun, harganya lebih rendah dari Sungai Piring. Keuntungan paling Rp 700.000 sampai Rp 800.000 per bulan. Lumayan untuk menambah pendapatan selagi harga kelapa rendah,” tutur Rosadi.
Harga kelapa yang rendah memang menjadi momok bagi masyarakat Indragiri Hilir, termasuk warga Sapat seperti Rosadi dan Burhan. Indragiri Hilir memiliki lahan kebun kelapa seluas hampir setengah juta hektar atau yang terbesar di Indonesia. Sapat memiliki luas kebun kelapa 3.000 hektar dan nyaris seluruh warga Sapat merupakan petani kelapa.
Rosadi dan Burhan juga petani kelapa. Burhan memiliki 10 hektar kebun kelapa yang dapat memproduksi 30.000 butir kelapa per tiga bulan. Saat ini harga kelapa hanya Rp 700 per butir. Dengan demikian, Burhan hanya mendapat penghasilan kotor Rp 21 juta. Ongkos produksi mencapai setengahnya atau Rp 10,5 juta.
Penghasilan bersih Burhan hanya Rp 10,5 juta per tiga bulan atau Rp 3,5 juta per bulan. Artinya, dari lahan kelapa seluas 1 hektar, Burhan hanya menghasilkan pendapatan bersih Rp 350.000 per bulan.
Burhan masih ingat nikmatnya berkebun kelapa saat harganya mencapai Rp 2.000 per butir. Dalam satu bulan ia dapat mengantongi penghasilan bersih Rp 15 juta.
Usaha lidi dan daun muda dikhawatirkan dapat membahayakan kelangsungan hidup pohon nipah. Sebab, yang diambil adalah tajuk daun muda yang berfungsi menggantikan daun-daun tua yang mati dan rontok. Namun, menurut Rosadi, pohon nipah di kampungnya belum ada yang rusak akibat aktivitas warga mengambil lidi dan daunnya.
”Kalau harga kelapa bagus, kami biasanya tidak mengumpulkan lidi dan daun nipah,” kata Burhan.