Paradoks Ketakutan dan Ketidaktahuan di Era Keberlimpahan
Isu mengenai dugaan penculikan murid sekolah dasar di wilayah Jabodetabek menyeruak dalam beberapa hari terakhir. Sebagaimana salah satu arti kata isu di laman Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring mengenai kabar yang tidak jelas asal usulnya dan tidak terjamin kebenarannya, cenderung seperti itu jugalah informasi mengenai penculikan anak dalam beberapa hari terakhir.
Beragam isu tadi muncul dengan derajat ”fakta” masing-masing. Bercampur baur dengan kejadian yang diduga, atau boleh jadi dipersepsi sebagai fakta karena dipercaya benar telah terjadi.
Misalnya saja dugaan upaya penculikan dua siswa SD Negeri 04 Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Peristiwa yang dipercaya terjadi itu disokong fakta berupa cerita PA (8) dan DN (11) sebagai terduga korban upaya penculikan.
Informasi-informasi sejenis terdistribusi dengan relatif cepat lewat berbagai saluran komunikasi yang terhubung dengan jaringan internet. Di dalamnya termasuk grup-grup percakapan digital dan berbagai platform media sosial dengan unggahan konten berupa video, naskah, surat edaran untuk mewaspadai upaya penculikan, hingga rekaman layar aplikasi percakapan seputar ”fakta” upaya penculikan.
Tak menunggu lama sebelum kabar itu menyebar. Pengelola SDN Ciputat 02, Tangerang Selatan, Banten, misalnya, pada Senin (29/10/2018) juga sudah bersiaga dengan ”informasi ancaman” tersebut.
Kesiagaan itu diwujudkan dalam sejumlah hal. Mengoptimalkan peran tenaga keamanan sekolah, mengunci pagar sekolah saat bel pulang dan hanya memperbolehkan orangtua atau wali murid sebagai pihak penjemput hingga bekerja sama dengan perwakilan orangtua siswa untuk mengawasi pergerakan anak-anak sepulang sekolah.
Namun, tentu saja anak-anak relatif tidak terlalu terpengaruh. Seperti terlihat pada Senin petang itu, misalnya, ketika murid-murid kelas III dan IV berlarian di lapangan sekolah yang berbatasan dengan pagar tanpa kunci dan menyisakan celah terbuka.
Batas geografis
Kegusaran dan ketakutan bahkan menyebar dan disebarkan hingga melampaui batas-batas geografis. Misalnya saja, saat kabar itu bercampur dengan video yang dianggap sebagai kejadian penculikan anak di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Belakangan, polisi memastikan peristiwa dalam video tersebut adalah penyelamatan anak kecil oleh polisi tatkala disandera perampok di Jambi pada 2010.
Dimensi waktu yang diterobos karena memersepsi kejadian delapan tahun lalu sebagai peristiwa saat ini merupakan salah satu karakteristik media baru di mana media sosial termasuk di dalamnya. Joseph Straubhaar, Robert LaRose, dan Lucinda Davenport yang menulis buku Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology (2011) memaparkan bahwa hal itu terkait dengan aspek asynchronous pada saat ini.
Aspek asynchronous media terkait dengan keniscayaan bahwa saat ini, pola konsumsinya tidak lagi dilakukan orang-orang dalam waktu bersamaan. Setiap orang akan mengakses informasi tertentu dari platform tertentu pada waktu yang berbeda-beda sebab digitalisasi telah memungkinkan fragmentasi media berdasarkan minat-minat khusus setiap orang.
Bandingkan, misalnya, dengan era sebelumnya, ketika media dikonsumsi secara asynchronous atau dalam waktu bersamaan. Ilustrasinya adalah ketika program berita televisi dan radio disiarkan pada waktu bersamaan atau saat surat kabar diantarkan loper koran secara serentak pada setiap pagi atau sore hari.
Pada saat ini, ledakan informasi tidak lagi terhindarkan. Orang-orang saling terhubung satu sama lain dan menciptakan semacam pengetahuan berjamaah.
Jumlahnya akan semakin besar, seiring dengan peningkatan jumlah pengguna internet. Di Indonesia, misalnya, berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada 2017 terdapat 143,26 juta jiwa dari total populasi penduduk 262 juta orang sudat terpenetrasi internet.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku berjudul Blur: How to Know What\'s True in the Age of Information Overload (2010) menuliskan bahwa pada permulaan abad ini diperkirakan bahwa informasi baru akan diciptakan dalam jumlah lebih banyak selama tiga tahun dibandingkan apa yang telah dihasilkan selama tiga ratus ribu tahun sebelumnya. Pernyataan itu dikutip Kovach dan Rosenstiel dari pendapat Walter Truett Anderson (2001).
Akan tetapi, pertanyaan mendasar dari berbagai informasi terkait dugaan penculikan anak tersebut adalah mengapa ketakutan menyebar dalam tempo relatif cepat dengan skala cenderung meluas? Cepat dan meluas serta cenderung menihilkan kemampuan untuk berpikir secara logis dan kritis.
Jawabannya boleh jadi ada pada insting bertahan hidup yang diaktifkan oleh informasi-informasi yang meresahkan dan atau menakutkan seperti dugaan kasus penculikan anak. Pada sistem kognisi, insting bertahan hidup ini terkait dengan otak limbik.
Marc Schoen yang bersama Kristin Loberg pada 2013 menulis buku Your Survival Instinct Is Killing You menyebutkan, satu daerah khusus di bagian limbik terkait cukup besar dengan kemarahan dan ketakutan adalah amygdala. Pada sisi lain, ada bagian bernama otak serebral yang terkait dengan kemampuan untuk menghitung, kemampuan logis, kegemaran berpikir kritis, pemecahan masalah, serta terlibat dalam pemikiran analitis, induktif, dan deduktif.
Schoen menjelaskan, keputusan dan pilihan terkait otak serebral biasanya membutuhkan jeda, baik saat mengambil data, membuat kesimpulan, maupun bertindak atas informasi tersebut.
Kemampuan untuk berpikir secara kritis inilah yang diingatkan dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Irwansyah, untuk menghadapi sejumlah kabar penculikan. Ia menyebutkan, informasi tentang penculikan anak sekolah, hal itu relatif benar, tetapi tidak lengkap.
Karena itulah, publik mesti mempertanyakan setiap informasi dengan kritis. Model pencarian fakta dengan mengajukan aspek pertanyaan apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana menjadi penting untuk menguji kesahihan informasi sebelum disebarkan.
Namun, kerap kali model pencarian itu yang justru diabaikan karena beberapa sebab di atas. Saat ini, kecenderungan pencarian dan penyebaran informasi lebih didasarkan atas dimensi popularitas.
”Maka, seperti (Marshall) McLuhan (ilmuwan komunikasi) katakan, kepopuleran akan mengamputasi kredibilitas dan sifat kritis dari informasi tersebut. Jadi, ini lebih kepada keyakinan, bukan lagi kepada fakta,” ujar Irwansyah.
Hal tersebut diperkuat dengan kecenderungan dimilikinya bias konfirmasi oleh nyaris semua orang. Thomas M Nichols yang menulis buku berjudul The Death of Expertise: The campaign against established knowledge and why it matters (2017) mengatakan, bias konfirmasi adalah kecenderungan untuk mencari hanya informasi guna menegaskan apa yang sudah diyakini sebelumnya.
Kejadian serupa
Simpang siurnya informasi yang meresahkan dan menakutkan masyarakat serta mudah menyebar karena merangsang amygdala yang terkait insting bertahan hidup dan oleh karenanya lolos saringan logika dan pola pikir kritis juga pernah terjadi di awal 2004. Saat itu, warga Jabodetabek dihebohkan dengan kabar makhluk jejadian berjuluk kolor ijo yang berbuat amoral terhadap kaum perempuan.
Belakangan, isu yang bergulir cepat dan luas itu menguap. Polisi tidak menemukan satu pun barang bukti dan oleh karenanya kasus tersebut dianggap tidak pernah ada.
Nuansanya menjadi berbeda tatkala dilekatkan pada perhelatan politik pada tahun itu, yang memilih presiden dan wakil presiden pada Juli dan September 2004. Nuansa itu juga yang saat ini cenderung ada manakala isu penculikan anak tersebar dengan relatif cepat dan masif.
Akan tetapi, terdapat perbedaan sangat mendasar yang membuat kedua fenomena tersebut sulit disamakan begitu saja. Perbedaan itu adalah jumlah orang-orang yang menjadi pengguna internet pada 2004, berdasarkan data APJII baru berjumlah 11,2 juta orang di Indonesia.
Perbedaan lebih jauh terjadi saat membandingkan peristiwa pembunuhan terhadap ”dukun santet” di Banyuwangi pada 1998. Nicholas Herriman yang menulis buku Negara Vs Santet (2013) menyebutkan, lonjakan pembuhan terhadap ”dukun santet” terjadi pada 1998, berkenaan dengan gerakan reformasi yang mengakibatkan jatuhnya rezim Soeharto.
Setelah itu pada tahun yang sama, sebagaimana dikutip dari laman nu.or.id, terjadi pembunuhan terhadap guru ngaji dari kalangan nahdliyin di Banyuwangi, Jember, Situbondo, Bondowoso, Pasuruan, Pamekasan, dan Sampang. Jumlah korban diketahui mencapai 253 orang.
Pada dua kasus terakhir, pembunuhan ”dukun santet” dan guru ngaji dari kalangan nahdliyyin, peristiwa dan korbannya terkonfirmasi ada. Akan tetapi, pada isu penculikan anak sekolah di kawasan Jabodetabek dalam beberapa hari terakhir, kejelasan perkaranya cenderung masih digelayuti awan hitam.