Dorong Tanggung Jawab Produsen Kelola Sampah
Pemerintah berkomitmen mendorong produsen menarik kembali kemasan produknya. Langkah itu untuk menyempurnakan penanganan sampah plastik.
NUSA DUA, KOMPAS—Indonesia berkomitmen melanjutkan penyusunan sistem agar produsen menarik kembali semua kemasan produknya. Langkah itu diapresiasi karena akan menyempurnakan penanganan sampah plastik melalui daur ulang yang didorong para produsen besar.
Tanggung jawab produsen atas kemasan atau extended producer responsibility (EPR) diamanatkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Namun, hingga kini peta jalan EPR tak kunjung selesai.
Niat menerapkan EPR disuarakan Pemerintah Indonesia pada forum pembacaan komitmen dalam Konferensi Kelautan (Our Ocean Conference/ OOC) Ke-5 di Nusa Dua, Bali.
”Pemerintah Indonesia berkomitmen membangun peta jalan pengurangan sampah oleh produsen. Itu jadi dasar menjalankan EPR dan sirkular ekonomi,” kata Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (30/10/2018).
Vivien membacakan 9 poin janji dalam acara itu. Sebagian di antaranya jadi pekerjaan rumah KLHK, antara lain komitmen penurunan sampah 30 persen dan penanganan sampah 70 persen pada 2025 sesuai Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pengurangan sampah dilakukan lewat daur ulang, pelarangan kantong plastik sekali pakai, pengomposan berbasis komunitas, dan bank sampah.
Pengurangan sampah di laut sebesar 70 persen pada 2025 sebagaimana target Perpres Nomor 83 Tahun 2017 tentang Penanganan Sampah di Laut turut dimasukkan dalam komitmen Indonesia. Selain itu, implementasi pemanfaatan sampah jadi energi dengan teknologi ramah lingkungan di 12 kota dengan skema kerja sama pemerintah-swasta juga menjadi komitmen yang dibacakan Vivien.
David Sutasurya, Direktur Eksekutif Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi menyambut baik penerapan EPR sebagai solusi jangka pendek. Melalui EPR biaya pengumpulan kemasan akan menjadi tanggung-jawab produsen dan bukan lagi menjadi beban masyarakat maupun pemerintah lagi.
“ Dari sisi komitmen bagus karena mengatur industri (produsen). Karena industri masih menolaknya dengan berbagai alasan,” kata dia.
Dari sisi komitmen bagus karena mengatur industri (produsen). Karena industri masih menolaknya dengan berbagai alasan.
Namun, David yang tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia, menilai, mekanisme EPR perlu diperjelas. Mekanisme pengumpulan kembali kemasan bisa saja tidak langsung dilakukan produsen tetapi melalui pemerintah atau pihak ketiga melalui pembayaran pajak atau dana yang bisa terlacak.
Namun ia memberi catatan agar hal ini nantinya tidak malah menjadikan produsen bebas menghasilkan kemasan sekali pakai dengan dalih telah membayar kewajiban itu. “Padahal mekanismenya harus mendorong industri bertanggung jawab dan EPR menjadi disinsentif agar mendorong produsen mengubah desain kemasan maupun pengiriman produknya,” kata dia.
Komitmen produsen
Dalam Konferensi Kelautan kemarin, muncul komitmen dari produsen makanan atau minuman maupun produk kecantikan yang produknya menyisakan kemasan plastik. Seperti Coca-cola Company yang di awal 2018 mengumumkan visi baru pengelolaan kemasan produk.
Visi bernama World Without Waste ini diumumkan kembali Coca-cola. Pada tahun 2030, perusahaan multinasional itu menetapkan tujuan untuk membantu pengumpulan dan daur ulang kemasan setara dengan jumlah kemasan yang terjual. Kemasan mereka diubah 100 persen dapat didaur ulang pada tahun 2025 dan menyertakan 50 persen konten daur ulang di seluruh kemasan pada 2030.
Komitmen lain dilayangkan gabungan raksasa perusahaan Pepsico, Coca-cola, Unilever, Procter & Gamble, dan Dow untuk investasi senilai 90 juta dollar AS untuk peningkatan pengelolaan sampah dan teknologi. Dana tersebut dikelola lembaga finansial Circulate Capital.
Rob Kaplan, pendiri Circulate Capital mengungkapkan, Indonesia dan India akan menjadi prioritas pengembangan dan pembangunan infrastuktur investasi. Di Indonesia, ia tertarik mengembangkannya di Surabaya karena atmosfer dan kepemimpinan Walikota Risma yang dinilai sangat mendukung program-program pengurangan dan pengelolaan sampah.
David Sutasurya menekankan, dana 90 juta dollar AS yang merupakan gabungan investasi lima perusahaan besar dinilai kecil. Hal itu sebagai sumbangan dan bukan menunjukkan keseriusan perusahaan untuk menangani kemasan produknya yang menjadi masalah di lingkungan.