JAKARTA, KOMPAS -- Hingga Selasa (30/10/2018) pukul 20.30 WIB, Posko Keluarga Lion Air JT 610 Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur masih dipenuhi keluarga korban. Mereka tetap menanti kepastian keadaan anggota keluarganya.
"Saya baru datang mbak, kakak sepupu saya, Eka M Suganda (47), yang jadi korban. Ini saya gantiin istrinya yang sudah menunggu dari pagi," kata Widya, keluarga korban hilangnya Pesawat Lion Air JT 610.
Ketika bercerita, Widya kerap kali memejamkan matanya seraya menahan air mata. Ia menceritakan kakak sepupunya dengan suara bergetar yang sesekali diiringi senyum.
"Kalau sedih, pasti sedih. Tapi harus tegar buat nguatin istri kakak sepupu saya. Soalnya dia sangat terpukul dan masih percaya suaminya selamat. Sering dia ngomong, \'Abi jago renang dan pake pelampung, jadi pasti selamat\'," tutur Widya.
Menurut Widya, Eka merupakan sosok yang supel dan ramah. Kesehariannya, ia juga ayah yang dicintai oleh ketiga anaknya. Saat itu, Eka pergi ke Pangkal Pinang untuk mengurus pekerjaannya.
Widya mengatakan, dia sudah menerima kenyataan, namun tetap ingin melihat jasad kakak sepupunya. "Saya sudah menerima kepergian dia. Tapi kami sekeluarga berharap dapat melihat jasadnya dan membawa pulang. Kami ingin memakamkannya di Cirebon," kata Widya.
Sebelum memulai pembicaraan dengan Kompas, Widya sempat menanyakan kepastian korban yang sudah diidentifikasi. Memang hingga saat ini, belum ada jenazah korban yang bisa diidentifikasi.
Tunggu DNA
"Kondisi jenazah yang kita terima itu berupa anggota tubuh. Memang ada ciri spesifik yang ditemukan, tapi kami belum bisa merilis itu. Sebab, dari data antemortem ada beberapa keterangan bahwa keluarganya mempunyai ciri yang sama," kata Kepala Pusat Kedokteran Kesehatan (Kapusdokkes) Polri, Brigadir Jenderal Polisi Arthur Tampi.
Arthur menambahkan, untuk memastikan identitasnya, dua harus tetap menunggu hasil pemeriksaan DNA. Paling cepat empat hingga delapan hari dari sekarang, hasilnya sudah keluar.
Lion bertanggung jawab
Direktur Lion Air Daniel Putut Kuncoro, mengatakan, pihaknya siap bertanggung jawab. Khususnya untuk keluarga korban, pihaknya memfasilitasi keluarga korban dengan penginapan, akomodasi, dan transportasi.
"Kami juga menyediakan tim konseling psikologis untuk membantu keluarga penumpang yang membutuhkan bantuan psikologis. Selain itu, ada 180 pendamping keluarga yang bertugas membantu memberikan informasi kepada keluarga korban di sini," kata Daniel.
Lindy Soeginto, anggota Himpunan Psikolog Indonesia, menyampaikan, reaksi yang dikeluarkan keluarga korban adalah reaksi normal dalam ketidaknormalan. Apalagi masih di awal-awal kejadian.
"Namanya ada bencana, pasti ada reaksi yang keluar. Hanya tinggal bagaimana keluarga korban merespon, siap atau tidak. Kami akan terus memberi pendampingan sesuai kebutuhan keluarga," kata Lindy. (SHARON PATRICIA)