Sembilan puluh tahun lalu Sumpah Pemuda dideklarasikan perwakilan tokoh-tokoh pemuda dari berbagai kelompok kedaerahan. Kini, sejumlah komunitas dari beragam minat mendefinisikan ulang tonggak awal kesadaran berbangsa itu secara serentak dari 10 daerah.
Jakarta, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Palembang, Makassar, dan Malang. Para pemuda dari 10 daerah itu terhubung lewat telekonferensi yang disajikan dalam layar besar di salah satu sudut Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Minggu (28/10/2018).
Sebelum membacakan deklarasi Sumpah Pemuda, perwakilan sejumlah kelompok pemuda itu membacakan komitmen dan sejumlah tantangan di daerah masing-masing. Sejumlah tema menguat di antara mereka.
Di antara topik persoalan yang muncul adalah keragaman dan latar belakang sejarah dan budaya yang terkadang salah dipersepsi pada konteks saat ini. Pada sebagian kasus, ini menyebabkan munculnya kekerasan bernuansa primordialisme.
Selain itu, kelangkaan ruang publik untuk berekspresi bagi anak-anak muda juga menjadi catatan tersendiri. Hal ini membuat kesempatan untuk berbagi gagasan dan mewujudkan ide kreatif menjadi relatif minim.
Seusai deklarasi, para peserta dipandu menyanyikan lagu ”Indonesia Raya” dengan iringan orkestra Kita Anak Negeri. Fragmen ini seolah melempar imajinasi saat lagu ”Indonesia Raya” ciptaan WR Supratman dimainkan saat Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Salah seorang penanggung jawab kegiatan yang mengambil tajuk ”Se-Indonesia, Sembilan Puluh Tahun Sumpah Pemuda Indonesia” itu, Ratu Diah Ayu Widyaswari, menyebutkan, deklarasi dan seluruh rangkaian acara hari itu dilatarbelakangi sejumlah hasil survei mengenai tingkat intoleransi di Tanah Air. Mereka kemudian menginisiasi pertemuan antara sejumlah komunitas yang peduli terhadap isu itu dan Kantor Staf Presiden.
”(Ada masalah) Intoleransi dan ruang publik (yang) kurang,” kata Widy, panggilan akrab Ratu Diah Ayu Widyaswari.
Setelah pertemuan itu, bersama-sama dengan sejumlah komunitas lain, mereka bersepakat merayakan 90 tahun Sumpah Pemuda. Bedanya, kali ini terdapat tiga fokus utama yang ditekankan, yakni kebebasan berkarya, kebebasan berkolaborasi, dan kebebasan berekspresi.
Karena itulah, dalam kegiatan di salah satu sudut Gelora Bung Karno itu, terdapat tiga zona, yaitu zona kolaborasi, zona karya, dan zona ekspresi. Masing-masing dengan kegiatannya, mulai dari diskusi hingga pentas musik.
”Yuk buat Sumpah Pemuda serentak. Bersama bebas berekspresi dan berkarya serta berkolaborasi, tetapi tujuannya untuk (satu) Indonesia,” ujar Widy.
Untuk selanjutnya, Widy mengatakan, tantangannya adalah menghadapi tahun politik dengan menyadarkan orang-orang muda tidak apolitis. Widy, yang juga Direktur Eksekutif We The Youth, memastikan gabungan kelompok komunitas tersebut tidak melakukan politik praktis, tetapi menganjurkan agar pemuda berpartisipasi dalam pemilihan politik dan menggunakan hak pilih mereka.
”Karena ini salah satu cara berpartisipasi di pemerintahan dan yang penting juga, menghargai (perbedaan) pilihan politik. Takdir kita bineka, jangan sampai bineka jadi bencana,” kata Widy.
Sejumlah peserta, hingga berita ini disusun, masih bertahan di lokasi deklarasi dan berbaur dengan massa bakal penonton sepak bola. Sebagian datang untuk menonton sejumlah hiburan yang disajikan, seperti dilakukan Alisa (20).
Sementara bagi Rama Tidar Santoso (17), kegiatan tersebut menjadi penting karena pada saat ini relatif tidak banyak lagi pemuda mengetahui Sumpah Pemuda. Rama yang datang bersama tiga kawannya bersepakat, Sumpah Pemuda dapat membantunya memahami arti penting persatuan. Selain itu, membuatnya mampu mengenali ancaman dan bahaya konflik yang terjadi di kalangan anak-anak muda.