Keamanan dan Legalitas Menjadi Mimpi PKL
Sudah cukup lama pedagang kaki lima ”bermusuhan” dengan aparat keamanan dan ketertiban. Yang satu ingin mencari nafkah, satu lainnya ingin menegakkan ketertiban umum. Tidak bisakah keduanya berdamai?
Ismail (40) menunjukkan surat izin usaha mikro kecil (IUMK) dengan semringah. Ia antusias menunjukkan surat-surat dalam amplop coklat yang dibawanya. Ada sejumlah surat yang selalu disimpan di dalam gerobaknya, mulai dari IUMK, surat sertifikasi halal, bukti pembayaran pajak, hingga sertifikat pelatihan mengenai bahan makanan yang berbahaya bagi manusia.
”Surat ini saya bawa ke mana-mana saat berjualan. Jadi, kalau ada apa-apa, saya bisa langsung tunjukkan suratnya. Izin berjualan saya lengkap,” kata Ismail, Kamis (25/10/2018).
Sudah lama Ismail berprofesi sebagai pedagang kaki lima (PKL). Pada 1997, ia mulai berjualan es podeng di kawasan Blok S, Jakarta Selatan. Sebelumnya, ayah Ismail juga merupakan pedagang. Ia mengklaim, ayahnya adalah pedagang pertama di kawasan itu. Kini, komoditas Ismail bertambah. Selain berjualan es podeng, ia juga menjual sup kaki kambing. Ada banyak hal yang harus ia lalui untuk sampai di titik ini.
Beragam tantangan harus dihadapi Ismail selama berdagang. Ia mengaku sempat kesulitan mendapat tempat berjualan tetap. Persaingan antarpedagang pun juga menjadi tantangan. Selain itu, ia juga pernah berhadapan dengan aparat keamanan dan ketertiban (kamtib) yang melarangnya berjualan.
”Saat itu saya tidak peduli dan tetap nekat berjualan. Buat jaga-jaga, saya sampai bawa samurai (katana). Dalam keadaan apa pun saya harus jualan demi anak. Jualan di Jakarta ya harus berani. Jakarta itu keras,” katanya.
Berubah wajah
Dulu, ia dan puluhan PKL berjualan di Jalan Birah Raya, Kelurahan Rawa Barat, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mereka berjualan dengan gerobak dan tenda yang dapat dibongkar pasang. Dulu, kondisi di jalan itu ramai dan tidak teratur.
Menurut Ismail, pada masa itu, gerobak dan tenda PKL berada di kiri dan kanan jalan. Meja-meja pun juga memakan badan jalan. Selain itu, kendaraan bermotor juga diparkirkan di sekitar Jalan Birah Raya. Para pembeli pun ramai berkunjung ke sana.
Kini, kondisi Jalan Birah Raya telah berubah. Pada 2005, para PKL ditempatkan di sebuah pujasera yang dibangun melebar di pinggir jalan. Pujasera itu menampung 38 PKL kuliner yang telah lama berjualan di kawasan itu. Penataan PKL dilakukan Dinas Koperasi, Unit Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta Perdagangan DKI Jakarta.
Pujasera itu diberi nama Pujasera Blok S JS 85. Masing-masing PKL memperoleh lapak berukuran 4 meter x 6 meter. Area itu termasuk gerobak, ruang masak dan cuci, serta meja dan kursi untuk pembeli. Di sana, para PKL diperbolehkan berjualan sejak pukul 10.00 hingga pukul 23.00.
Tatik (40), pembeli makanan di pujasera itu, mengaku senang dengan penataan PKL. Menurut dia, jajaran PKL yang bersih dan ramai menjadi daya tarik dalam memilih tempat untuk makan. ”Kalau rapi begini, jadi lebih ingin makan di sini,” katanya.
Setiap bulan, masing-masing PKL harus membayar uang sewa Rp 90.000. Sementara itu, mereka juga harus membayar uang pembinaan Rp 20.000 setiap hari. Uang pembinaan itu untuk membiayai pemakaian listrik, air, dan kebersihan.
Tidak takut
Berdasarkan data dari Portal Data Terpadu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pada 2016, ada 347 PKL yang tercatat di lokasi sementara (loksem) seluruh DKI Jakarta. Data ini belum termasuk jumlah PKL yang berada di lokasi binaan (lokbin) dan PKL yang belum tercatat.
Para PKL di Pujasera Blok S JS 85 adalah para PKL yang ditempatkan di lokbin. Mereka memiliki IUMK untuk berjualan. Dengan IUMK, para PKL memiliki payung hukum untuk melindungi sumber nafkah mereka. Selain itu, menempatkan para PKL di pujasera itu juga berarti menyediakan ruang yang cukup layak untuk berjualan.
”Dibandingkan dengan dulu, tentu lebih enak jualan di pujasera ini. Lebih tertata dan kami pun di sini legal. Dulu saat masih pakai gerobak, masih ada rasa khawatir diubek kamtib. Takut gerobaknya diambil,” kata Ismail.
Penataan PKL tidak hanya membuat lokasi berjualan menjadi lebih rapi, tapi juga memberi tempat yang jelas untuk berjualan. Sarip, seorang pedagang gorengan di Jalan Kuningan Madya, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan, mengaku sudah dua kali berpindah tempat berdagang. Lokasi yang pernah ia tempati kini tidak lagi diizinkan untuk berjualan.
Sarip sedang menanti pemindahannya dan puluhan PKL kuliner di kawasan itu ke lokasi baru. Menurut rencana, mereka akan dipindahkan ke loksem yang ada di atas trotoar di Jalan Kuningan Madya dan Kuningan Mulia. Hal ini dikukuhkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Jakarta Selatan Nomor 122 Tahun 2018. Surat ini memuat peraturan yang mengizinkan PKL berjualan di atas trotoar sebagai lokasi sementara (loksem) JS 48.
Hingga kini, Sarip belum tahu kapan akan dapat berjualan di loksem tersebut. ”Saya ngikut sajalah sama pemerintah. Terserah saja mau ditempatkan di mana. Yang penting saya bisa jualan saja,” katanya.
Di loksem JS 48, puluhan meja dan kursi untuk pembeli sudah terpasang, begitu pula dengan wastafel untuk mencuci tangan. Namun, belum jelas di mana lokasi para pedagang menggelar dagangannya.
Menurut SK yang dikeluarkan pada Oktober 2018 itu, trotoar selebar 50 sentimeter akan disisakan untuk para pejalan kaki. Ini adalah upaya agar hak pejalan kaki tetap terpenuhi di trotoar. Namun, dengan trotoar selebar itu, trotoar hanya dapat digunakan secara satu arah. Belum lagi, badan jalan telah digunakan untuk tempat parkir mobil. Lokasi ini berpotensi menimbulkan kepadatan lalu lintas. Pasalnya, cukup banyak kendaraan yang melalui jalan ini.
”Sudah bertahun-tahun 100 persen trotoar di sana diokupasi PKL. Negosiasi kami selama ini alot. Sekarang kita berhasil mengambil 50 sentimeter dari trotoar yang mulanya diokupasi 100 persen oleh PKL. Walaupun begitu, trotoar tetap harus ada fungsi trotoarnya (untuk para pedestrian),” kata Wali Kota Jakarta Selatan Marullah Matali, Rabu (24/10/2018). (SEKAR GANDHAWANGI)