SLEMAN, KOMPAS — Semangat ajaran agama untuk menyebarkan perdamaian, toleransi, dan kebaikan hendaknya menjadi pedoman bagi manusia dalam berperilaku. Jangan sampai agama digunakan sebagai senjata oleh elite politik untuk memecah masyarakat.
Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, mengatakan, saat ini, ada semangat primordialisme yang menguat. Sejumlah kelompok masyarakat mengedepankan identitas kelompoknya dan sibuk untuk menang sendiri.
”Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara. Agama mudah dijadikan alat untuk mendorong eksklusivitas. Kita menjadi musuh dengan orang lain yang berbeda ketika yang dimunculkan adalah rasa superioritas,” tutur Alissa, di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (26/10/2018).
Berkaitan dengan hal itu, Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Bayt Ar Rahmah menggelar Global Unity Forum yang diadakan di Sleman, DI Yogyakarta, pada 25-26 Oktober 2018. Dalam pertemuan itu, dibahas tentang bagaimana ruang-ruang bersama antarsesama umat manusia saling dibuka guna menciptakan perdamaian.
”Forum ini menjadi upaya untuk membangun ruang-ruang bersama dalam kondisi menguatnya identitas kelompok,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat GP Ansor Abdul Rochman menyatakan, banyak negara yang hancur karena agama menjadi senjata politik. Hal tersebut memicu terjadinya konflik dalam masyarakat. Agama seharusnya dipandang sebagai sumber perdamaian.
”Kami ingin menyerukan, agama jangan digunakan sebagai senjata politik, tetapi sebagai rahmat. Rahmat bagi alam semesta. Ini harus menjadi semangat global,” kata Abdul.
Hamdi Murad, Guru Besar The World Islamic Science and Education University, mengatakan, dunia ini sedang menghadapi tantangan untuk hidup bersama secara damai. Orang-orang terkesan kian menekankan perbedaan atas nama agama dalam berhubungan dengan sesamanya. Padahal, semua agama mengajarkan untuk hidup berdampingan.
”Semua punya prinsip agar manusia hidup berdampingan dalam berbagai perbedaannya. Kita harus mengeluarkan kebencian dari diri sendiri dulu. Yang harus kita cari adalah bagaimana bisa hidup rukun dengan orang lain,” ucap Hamid.
Ia menambahkan, manusia harus menghilangkan perasaan bahwa dirinya merupakan pihak yang paling benar. Sikap itu adalah sumber konflik yang mengantarkan manusia kepada perselisihan dan permusuhan antarsesamanya. Hal itu terjadi jika agama menjadi senjata politik yang digunakan untuk menyerang sesama manusia.
”Sumber konflik ini melenyapkan sifat manusiawi yang sebenarnya hidup dalam diri setiap individu. Tugas agama adalah menaikkan derajat seseorang, dengan berbuat berbagai kebaikan, bukan sebaliknya,” kata Hamdi.
Manusia harus menghilangkan perasaan bahwa dirinya merupakan pihak yang paling benar. Sikap itu adalah sumber konflik yang mengantarkan manusia kepada perselisihan dan permusuhan antarsesamanya.
Jean-Christophe Bas, Chief Executive Officer Dialogue of Civilization Research Institute, menyebutkan, hendaknya manusia mulai saling melihat tentang persamaan antara satu sama lain.
”Apa pun yang kita yakini, ada sejumlah hal yang sama-sama kita inginkan, yaitu kesetaraan, keadilan, dan kesejahteraan. Hal yang membedakan kita sebenarnya sangat kecil,” ujar Bas.
Ia menambahkan, Indonesia bisa menjadi contoh melalui semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”-nya untuk dapat mempertahankan semangat keberagaman. Umat manusia harus memikirkan tentang bagaimana manusia bisa bersatu dalam perbedaan.
Sementara itu, Direktur Eksekutif American Islamic Congress Zainab Al-Suwaji menyampaikan, pemerintah harus bertindak tegas terhadap oknum yang menolak toleransi dan pluralisme sehingga berakibat pada terjadinya perpecahan di masyarakat. Ini karena anak-anak bisa menjadi korban kekerasan dari konflik yang terjadi tersebut.
Pendiri Wasatia (gerakan masyarakat dari Palestina), Mohammed Dajani, menyatakan, demi menyemai perdamaian, semangat pluralisme harus diajarkan sejak masih anak-anak. Ideologi yang menolak keharmonisan hidup manusia dalam berbagai perbedaan jangan diterima.
”Semangat keberagaman harus dijaga demi kehidupan anak-anak kita ke depan,” kata Dajani.