Integrasi Angkutan Massal Langkah Awal Sebelum Jalan Berbayar Diterapkan
JAKARTA, KOMPAS -- Integrasi angkutan umum massal menjadi salah satu hal yang perlu diperkuat sebelum kebijakan sistem jalan berbayar diterapkan. Hal itu dimaksudkan agar tujuan membuat masyarakat beralih ke transportasi massal tercapai.
Setelah kebijakan ganjil genap dikatakan hanya efektif untuk mengatasi kemacetan dalam jangka pendek, pemerintah mempersiapkan upaya lain. Upaya tersebut adalah rencana penerapan sistem jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) pada 2019 mendatang.
Sembari menunggu ERP siap, ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah yaitu integrasi angkutan umum massal. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat masyarakat beralih ke angkutan umum massal. Sebab, percuma saja ERP diterapkan jika masyarakat masih belum mau beralih ke angkutan umum massal.
Hanya 24 persen pengguna kendaraan pribadi yang beralih ke angkutan umum massal pasca diberlakukannya kebijakan ganjil genap.
Menurut survei yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan, hanya 24 persen pengguna kendaraan pribadi yang beralih ke angkutan umum massal pasca diberlakukannya kebijakan ganjil genap. Sejumlah 23 persen beralih ke taksi reguler, taksi daring maupun ojek daring. Sedangkan 53 persen sisanya memilih untuk tetap menggunakan kendaraan pribadi.
"Alasannya adalah karena mereka memiliki kendaraan berpelat ganjil dan genap, mereka bisa memilih jalur alternatif yang tidak terkena kebijakan ganjil genap, melakukan perjalanan setelah waktu pemberlakuan ganjil genap berakhir dan beralih ke sepeda motor," ujar Kepala Balitbang Kementerian Perhubungan, Sugihardjo saat ditemui seusai diskusi kelompok terfokus, Kamis (25/10/2018) di Jakarta Pusat.
Salah satu penyebab keengganan masayarakat beralih ke angkutan umum massal adalah karena mereka harus berpindah-pindah angkutan umum. Hal ini akan berimplikasi pada lebih banyaknya waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Hal itu diujarkan oleh Kartika (27), warga Cakung, Jakarta Timur.
"Kalau menunggu angkutan umum (memakan waktu yang) lama, apalagi jika harus transit berulang kali," ujar Kartika. Melalui integrasi, permasalahan terkait waktu tempuh yang lama, biaya yang tinggi dan ketidaknyamanan penumpang bisa diminimalisir.
Program integrasi angkutan umum massal menurut Kepala BPTJ, Bambang Prihartono sudah ada dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek dan tertuang dalam Peraturan Persiden Nomor 55 tahun 2018.
Kunci dari integrasi angkutan adalah keterhubungan antarmoda di semua wilayah, terutama wilayah permukiman. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu adanya sebuah tempat transit yang memungkinkan. Tempat tersebut adalah Transit Oriented Development (TOD).
"Kunci sistem integrasi itu adalah TOD yang merupakan pusat perpindahan antarmoda," jelas Bambang pada saat dihubungi Jumat (26/10/2018). Nantinya, TOD yang ada diharapkan dekat dengan permukiman dan pusat-pusat bisnis, sehingga bisa dengan mudah diakses dan bisa menunjang mobilitas masyarakat.
Selain TOD, BPTJ juga telah mempersiapkan berbagai pilihan moda transportasi untuk melengkapi integrasi. Moda tersebut adalah kereta Light Rapid Transit (LRT) dan kereta Mass Rapid Transit (MRT) yang akan mulai beroperasi 2019 mendatang. Selain itu Bambang mengatakan ada 1.000 bus yang ditambahkan ke perumahan-perumahan.
"Tahun ini kami juga berupaya untuk menambah 1.000 bus, lalu kami memaksimalkan JR Connexion, JA Connexion, Transjabodetabek Premium dan menambah armada Transjakarta pada koridor-koridor tertentu," tambah Bambang.
Bambang mengatakan, di masa depan, angkutan umum massal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) bisa benar-benar menjadi pilihan. "Target waktu tempuh point to point angkutan umum tidak lebih dari 1,5 jam dan kecepatan rata-rata kendaraan harapannya juga bisa tembus 60-70 km/jam. Lalu, jangkauan angkutan umum bisa tembus angka 80 persen dari seluruh wilayah di Jabodetabek," tutur Bambang.
Untuk mewujudkan rencana integrasi ini, masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh BPTJ. Salah satunya adalah mengubah perilaku masyarakat.
Cara yang dapat dipilih untuk mengubah preferensi masyarakat yang tadinya memilih kendaraan pribadi adalah dengan cara mengedukasi.
"Kami edukasi, kalau naik mobil itu merugikan orang lain, bisa bikin jalan tambah macet. Lalu kalau dia beralih ke sepeda motor, kami kampanyekan lagi bahwa sepeda motor bukanlah pilihan yang tepat. Hal itu karena penyumbang angka kecelakaan paling tinggi adalah sepeda motor," lanjut Bambang.
Murah dan digratiskan
Pengamat transportasi Universitas Katolik Soegijapranata Djoko Soetijowarno mengatakan, tarif angkutan umum yang murah serta tarif ERP yang tinggi akan memancing masyarakat untuk berpindah moda. "Apalagi nanti kalau nantinya angkutan umum pada beberapa koridor itu digratiskan, pasti semakin banyak lagi peminatnya," kata Djoko.
Djoko mencontohkan, di negara lain seperti China, pemerintah menetapkan tarif yang sangat murah untuk transportasi umum. Sehingga masyarakat semakin tertarik untuk memilih transportasi umum.
"Coba kalau di beberapa koridor Transjakarta di gratiskan, atau Jak Lingko itu diperluas hingga ke permukiman, pasti banyak yang mau beralih," ucap Djoko. Dengan begitu rencana integrasi angkutan umum massal boleh jadi bukan lagi sekedar angan-angan.
ERP diuji coba
Setelah integrasi angkutan berjalan dengan baik, Pemerintah bisa lebih fokus mempersiapkan ERP. Sistem ERP ini kata Bambang sudah mulai diuji coba oleh BPTJ dan Polda Metro Jaya.
Sistem ERP ini mirip dengan sistem jalan berbayar pada tol saat ini. Bedanya ruas jalan dimana ERP berlaku tidak diberi palang pintu seperti tol.
Pembayarannya dilakukan melalui alat yang pasang di setiap kendaraan yang ingin melintas. Alat tersebut diberi sinyal pemancar. Jika melewati ruas jalan berbayar, saldo dalam alat akan otomatis terpotong.
ERP rencananya akan diberlakukan dengan sistem ring pada tiga lokasi. Ring pertama adalah di Jalan Sudirman - Thamrin, ring kedua adalah Jalan MT. Haryono - Kuningan dan ring ketiga adalah ruas jalan - jalan nasional.
Tanggung jawab pengelolaan jalur ERP pada ring pertama dan kedua adalah pada Pemerintah Provinsi, sementara ring ketiga tanggung jawab Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ). Dengan begitu, kendaraan yang masuk Jakarta akan disaring dulu sebelum sampai di jalan-alan arteri Jakarta.
Jika ERP dan integrasi nantinya benar terjadi, jumlah volume kendaraan di jalan bisa ditekan. Bukan hanya kemacetan, polusi udara akibat asap kendaraan juga bisa berkurang. (KRISTI DWI UTAMI)