Polisi Mulai Menyidik Pencemaran Akibat Peleburan Aki Ilegal di Bogor
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
BOGOR, KOMPAS - Kepolisian Resor Bogor telah menyidik kasus pencemaran lingkungan akibat peleburan aki ilegal di Desa Jagabaya, Kecamatan Parung Panjang Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Polisi telah meminta keterangan dua pemilik peleburan aki ilegal dan sembilan orang pekerjanya. Namun polisi belum menetapkan satu pun tersangka kasus ini.
Polisi masih menunggu hasil laboratorium untuk mengukur sejauh mana dampak pencemaran yang ditimbulkan dari peleburan aki ilegal di Parung Panjang. Hasil laboratorium juga akan menentukan tindak lanjut proses hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kasus pencemaran lingkungan ini.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polres Kabupaten Bogor Ajun Komisaris Benny Cahyadi, saat merilis pengusutan kasus ini di Parung Panjang, Kamis (25/10/2018), mengungkapkan di antara yang dimintai keterangan adalah dua pemilik usaha peleburan aki ilegal yaitu A (54) dan J (51).
Benny mengatakan, mereka saat ini berstatus sebagai saksi, karena polisi belum memiliki bukti terukur terhadap dampak dari peleburan tersebut. "Status penanganan kasusnya sudah naik dari penyelidikan menjadi penyidikan. Namun, kami perlu menunggu uji laboratorium dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) untuk menindaklanjuti kasus," kata Benny saat ditemui di lokasi kejadian.
Uji hasil itu mengukur dampak peleburan dari tiga aspek, yakni terhadap air, tanah, dan udara. Benny mengatakan, pengukuran yang melibatkan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, diperkirakan akan selesai dalam kurun sepekan mendatang.
Selasa pekan lalu jajaran Satreskrim Polres Bogor bersama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, turun ke sejumlah lokasi peleburan aki ilegal di Parung Panjang. Pada Rabu kemarin, polisi telah mengambil sampel tanah dilakukan pada tiga titik lokasi peleburan yang tersebar di kawasan Kampung Janada Inpres, Desa Jagabaya.
Keberadaan peleburan aki di Desa Jagabaya itu telah dikeluhkan warga bertahun-tahun. Sekretaris Desa Jagabaya, Dian Qori, mengatakan keluhan warga mengenai asap dan bau selalu datang setiap bulan. Bahkan, warga sempat membubarkan kegiatan peleburan aki pada 2017 lalu.
"Sudah sempat dibubarkan, namun mereka buat lahan lagi. Bahkan, di Jagabaya ada empat lahan yang mereka buat hingga ke perbatasan Desa Ciomas, Parung Panjang," tutur Dian.
Berdasarkan pantauan di lapangan Kamis (25/10/2018), dari kawasan Janada Inpres, ditemukan lahan peleburan lain yang wilayahnya berbatasan antara Desa Jagabaya dengan Desa Ciomas. Jarak antarlahan peleburan sekitar 2 kilometer, namun lokasi peleburan tersebut sudah disegel oleh garis polisi.
Ketua RW 08 Desa Jagabaya, Sardi, mendukung kegiatan peleburan diberhentikan. Sebab, dampak yang dirasakan warga telah menahun. Ia mencontohkan, kawasan rumahnya yang berjarak 1 kilometer dari lahan peleburan, turut terkena dampak mulai dari bau hingga air di sungai terdekat.
Dedi (45), warga RT 03 RW 08 Desa Jagabaya, mengatakan, bau yang menyebar dari tempat peleburan aki saat malam menyerupai bau belerang. Saat hujan, air sungai terdekat yang digunakan untuk mandi dan mencuci, menurut Dedi turut tercemar limbah peleburan yang menyebabkan gatal
Menanggapi keluhan warga, Benny menjanjikan penanganan akan berlanjut saat dampak dari peleburan pada udara, tanah, dan air di sekitar kawasan telah terukur. "Dari situ, nanti kita tahu seberapa besar dampak peleburan itu ke lingkungan," ujarnya.
Menurut Benny, pihak-pihak yang terkait dengan usaha peleburan aki dapat dikenakan sejumlah pasal Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Benny mencontohkan, pihak-pihak yang bertanggung jawab bisa dijerat Pasal 103 UU 32/2009 yang mengatur tentang ancaman bagi pengelolaan limbah berbahaya.
Pasal 103 berbunyi, setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 3 miliar. (ADITYA DIVERANTA)