Permainan Tradisional Tawarkan Keunggulan di Era Disrupsi
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kesan kuno, rumitnya mencari lahan dan alat, serta isu keamanan bermain di luar ruangan, menjadi alasan permainan tradisional ditinggalkan. Padahal, permainan tradisional menawarkan banyak kelebihan untuk perkembangan anak dan bisa menyesuaikan zaman.
Pembahasan tersebut menguak dalam Seminar Nasional berjudul "Mengembalikan Permainan Tradisional di Era Disruptif" di Perpustakaan Universitas Indonesia (UI), Depok, Kamis (25/10/2018).
Guru Besar Filologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Titik Pudjiastuti menyebutkan, setidaknya ada 120 jenis permainan anak tradisional. Jumlah tersebut baru yang tercatat dalam 22 naskah kuno dolanan (mainan) dari beberapa daerah di Jawa. Namun, dari jumlah ratusan itu, hanya sedikit yang kini masih dipermainkan anak-anak.
Permainan-permainan tradisional melibatkan banyak aspek, seperti gerakan, nyanyian, tebakan, dan aduan. Tak sedikit dari permainan tradisional menggunakan alat, membutuhkan ruang bermain yang luas, dan teman bermain. Aspek-aspek tersebut kerap kontradiktif dengan permainan yang digemari di era disrupsi teknologi, seperti komputer atau gawai.
"Permainan anak atau dolanan itu positif perkembangan psikomotorik dan budi pekerti. Sementara dengan gawai, anak jadi lebih egois dan berisiko lebih alami obesitas karena kurang bergerak," ujar Titik.
Pelestari Dongeng dan Permainan Tradisional Bali Made Taro menambahkan, permainan tradisional dijelaskan dengan teori perubahan aspek, membawa perilaku dan gagasan yang tidak dapat diubah.
Sebagai contoh, permainan enggrang jika dilihat dari aspek perilakunya tidak akan berubah cara memainkannya. Demikian juga dengan gagasan bahwa permainan enggrang memiliki nilai gotong royong, kesepakatan, kejujuran, dan disiplin.
"Tetapi, dari aspek fisik permainan ini bisa berubah menyesuaikan teknologi," tutur Made. Misalnya, enggrang yang dahulu dibuat dari bambu atau batok kelapa diganti dengan kaleng.
Ajari proses
Permainan tradisional juga memiliki kelebihan dalam mengajarkan pentingnya berproses, menurut Psikolog UI Mita Aswanti Tjakrawiralaksana. Era disrupsi dinilai membuat anak-anak saat ini lebih memikirkan tujuan dan melupakan proses.
"Ketika anak-anak diperkenalkan permainan tradisional, sebaiknya jangan langsung diberi tahu apa tujuan bermain permainan tersebut. Buat mereka senang, itu yang terpenting," tuturnya.
Mengajarkan proses bermain bisa dilakukan dengan melibatkan anak pada peran terkecil. Anak bisa dilibatkan dengan melihat contoh terlebih dahulu. Anak juga perlu dibiarkan memilih peran atau kegiatan yang disenangi.
Untuk anak yang canggung bergerak, misalnya, Mita menyarankan agar anak dibiarkan belajar dengan menonton permainan dahulu. Ketika sudah dipaparkan banyak contoh, anak bisa ditawari pilihan permainan sesuai minatnya. "Jika anak tidak suka banyak bergerak, ajak dia bermain congklak atau damdas, daripada permainan yang perlu kejar-kejaran," paparnya.
Proses bermain juga akan membantu anak mengambil nilai dari permainan yang dilakukannya. "Setiap melakukan permainan, anak secara mandiri akan belajar, entah itu belajar keseimbangan, belajar meregulasi emosi saat menang atau kalah, dan lain sebagainya," tutup Mita. (ERIKA KURNIA)