Sampai saat ini, pasar perumahan yang mendapat fasilitas pembiayaan dari pemerintah, seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan dan subsidi selisih bunga, relatif tidak terpengaruh gejolak suku bunga pasar dan acuan. Sebab, pemerintah telah mengatur dan menetapkan semua variabel, dari harga, bunga kredit tetap selama maksimal 20 tahun, hingga bebas Pajak Pertambahan Nilai ataupun premi asuransi.
Pemerintah menetapkan harga rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah itu setiap lima tahun. Terakhir, pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No 113/2014 menetapkan harga rumah subsidi tahun 2014-2018. Dalam ketentuan itu harga dibagi dalam sembilan zona/wilayah dan rata-rata kenaikan lima persen per tahun.
Salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan harga rumah subsidi adalah harga tanah. Sebab, kontribusinya mencapai 50 persen meski bergantung pada lokasi/daerah. Dari sembilan wilayah itu, harga rumah tertinggi ada di zona Papua dan Papua Barat, yakni Rp 205 juta. Sementara terendah di Pulau Jawa, kecuali Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bekasi, yakni Rp 130 juta.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah menyatakan tengah mempertimbangkan penetapan harga rumah subsidi secara lebih detail, termasuk dalam pembagian zona yang lebih banyak.
Faktor lain yang diperhitungkan adalah harga satuan bahan bangunan yang berbeda antardaerah serta luas tanah dan bangunan. Hal lain yang tak luput dipertimbangkan adalah batas penghasilan golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang saat ini Rp 4 juta untuk kredit pemilikan rumah tapak.
Biasanya, rumah subsidi ada di pinggiran kota. Hal ini menyangkut harga tanah yang terjangkau. Namun, belakangan pemerintah menyoroti kualitas rumah subsidi yang dalam beberapa survei ada yang tidak memenuhi standar. Persoalan kualitas rumah sangat relevan, terutama karena kebanyakan wilayah Indonesia rawan gempa bumi. Selain itu, sudah sepantasnya jika pemerintah minta kualitas rumah dijaga karena ada dana dari negara yang digunakan untuk membangun rumah subsidi.
Di sisi pengembang, kalangan pengembang mengusulkan agar penetapan harga rumah subsidi memperhitungkan harga tanah secara spesifik. Berikutnya tentang harga material yang berbeda antara satu wilayah dan wilayah lain. Usulan lain, rata-rata kenaikan harga rumah subsidi lima persen per tahun dinilai belum cukup untuk menutup kenaikan harga tanah, bahan bangunan, beserta upah tenaga kerja. Pengembang juga usul agar batasan penghasilan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dinaikkan dari saat ini Rp 4 juta untuk pembeli rumah tapak.
Meski banyak kritik, konsep pembiayaan perumahan melalui KPR subsidi nyatanya telah berjalan sejak 2010. Rumah tersalur 540.546 unit dengan total dana bergulir Rp 33 triliun. Oleh karena jadi salah satu harapan masyarakat, penetapan harga rumah subsidi perlu perhitungan cermat, terutama agar lebih terjangkau masyarakat sasaran.