Hari-hari Sepi Perajin Pecah Belah Antik Afghanistan
Oleh
Elok Dyah Messwati
·3 menit baca
Tak ada yang diuntungkan dalam perang. Yang ada hanya kehancuran dan kerugian. Di Afghanistan, bisnis kerajinan barang pecah belah antik hancur akibat perang. Bisnis kerajinan yang diturunkan dari generasi ke generasi di Afghanistan itu sekarang terancam mati.
Perajin Afghanistan, Ghulam Sakhi, tampak dengan cekatan meniup dan memutar bahan baku gelas cair menjadi gelas dan vas bunga yang halus berwarna biru serta hijau. Sakhi adalah salah satu perajin terakhir gelas Herat, kota di wilayah Afghanistan barat yang dulu terkenal dengan industri barang pecah belah antik. Kini industri tersebut hancur oleh perang, kemiskinan, dan impor murah benda pecah belah selama beberapa dekade.
Bengkel berbatu bata dilengkapi peralatan besi bergelombang tempat Sakhi bekerja hanya beroperasi beberapa hari dalam sebulan. Hal ini terjadi karena kurangnya permintaan untuk gelas berwarna khas yang ongkos pembuatannya lebih mahal daripada produk buatan China. ”Orang-orang tidak menghargai seni,” kata Sakhi yang berusia pertengahan 40-an tahun, tetapi terlihat jauh lebih tua.
Sakhi yang duduk di bangku rendah di sebelah oven tanah liat berbahan bakar kayu sesekali menyapu keringat ketika suhu di dalam bengkel melonjak di atas 40 derajat celsius. Putra tertuanya, Habibullah, bekerja di sampingnya. Ia mengais pecahan kaca dicampur dengan tembaga atau serbuk besi untuk menciptakan warna biru atau hijau ke atas material kaca yang cair meleleh di dalam tungku.
Sakhi menempelkan sumpitan besi ke dalam campuran yang panas, lalu dengan lembut memutarnya seperti wadah madu. Setelah mengekstrak batang, dia mengayunkan, meniup, dan menggulung kaca cair itu sebelum menaruhnya di tempat pembakaran.
Alat dan teknik yang digunakan Sakhi hampir tidak berubah dalam beberapa generasi, meskipun alih-alih membuat gelas dari kuarsa, perajin sekarang mendaur ulang botol dan jendela yang rusak, yang kini ”lebih mudah ditemukan”.
”Hal ini tidak akan bertahan hingga generasi berikutnya,” kata Sakhi yang keluarganya telah membuat kaca Herat selama 200 atau 300 tahun.
Turis tak datang
Perang yang telah berlangsung selama beberapa dekade di Afghanistan membuat turis asing yang dulunya tertarik ke Herat kini tak lagi datang. Padahal, Kota Herat kaya sejarah sebagai pusat perdagangan di Jalan Sutra kuno dan merupakan ibu kota Kerajaan Timurid pada abad ke-15.
Menurut Sakhi, sebagian besar warga Afghanistan lebih memilih barang impor buatan China yang lebih murah daripada barang buatan tangan. ”Mereka berpikir ketika mereka membeli barang impor dari China, barang-barangnya lebih baik,” ujar Sakhi.
Satu-satunya barang modern di bengkel berasap tempat Sakhi bekerja adalah telepon selular Nokia warna biru miliknya yang tergeletak di sampingnya. Ada pula kipas angin listrik yang berputar-putar dalam bengkel yang hawanya terasa panas.
Sultan Ahmad Hamidi (78), pemilik bengkel berjanggut putih yang menghabiskan hari-harinya dengan bersantai di sofa di tokonya yang menjual bermacam gelas Herat, pernak-pernik, dan kerajinan tangan, merasa putus asa atas kelangsungan bisnisnya.
”Dulu, 30-40 tahun yang lalu, orang antre untuk membeli kerajinan kaca di sini. 100 turis datang setiap hari,” kata Hamidi. Tokonya berada di seberang masjid utama Kota Herat, di jalan yang sibuk. Toko itu penuh dengan gelas Herati, vas, dan mangkuk yang kini berdebu. Dengan harga mulai sekitar 6 dollar AS (Rp 90.000), menurut Hamidi, dibutuhkan waktu sebulan untuk bisa menjual 100 produk di tokonya.
Ketika penjualan kerajinan pecah belah antik menurun, kelangsungan hidup menjadi tantangan yang semakin besar bagi Sahki dan keluarganya. Para perajin gelas Herat menambah penghasilan mereka yang hanya sedikit dari industri pecah belah dengan menjadi sopir taksi motor beroda tiga untuk mengangkut penumpang di seputaran kota.
Tanpa dukungan pemerintah atau dinas pariwisata, Sakhi khawatir dia akan menjadi perajin terakhir dari gelas-gelas Herat. ”Saya sangat sedih. Jika tetap seperti ini, ini sudah selesai,” kata Sakhi. (AFP)