DEPOK, KOMPAS — Kondisi penduduk lansia di kawasan perkotaan mesti menjadi perhatian untuk dikaji lebih lanjut. Hal ini menyusul kecenderungan meningkatnya tingkat harapan hidup dan praktik kebijakan pensiun yang berlaku saat ini.
Pengajar dan periset di Centre for Ageing Studies Universitas Indonesia, Evi Nurvidya Arifin, Selasa (23/10/2018), mengatakan bahwa penduduk usia lanjut di kawasan perkotaan perlu dilihat kondisi jaringan sosialnya.
”Jangan-jangan lansia di kota lebih menderita dibandingkan di desa (karena) tidak ada jaring pengaman sosial yang memadai, apalagi ketika orang (warga) makin individual,” kata Evi seusai upacara promosi doktor ekonomi Ahmad Irsan A Moeis di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat.
Negara, dalam hal ini, misalnya, diharapkan menyiapkan fasilitas bagi masyarakat lansia untuk melakukan aktivitas secara lebih produktif. Ia mencontohkan Singapura yang menyediakan semacam senior club di setiap blok perumahan tertentu.
”Ini penting sebagai media untuk masyarakat lansia,” ujar Evi.
Selain itu, juga ada semacam komunikasi antargenerasi untuk memahami segala konteks perubahan peradaban saat ini dari masyarakat industri ke masyarakat pascaindustri atau masyarakat informasi. Evi menambahkan, hal tersebut seperti yang juga terjadi di Singapura ketika pada saat tertentu ada murid-murid SD yang berinteraksi dengan warga lansia dan mengajari segala hal tentang teknologi digital.
Hal itu diutarakan dalam konteks transisi demografi penduduk di Indonesia yang cenderung akan mengarah pada bertambahnya jumlah penduduk lansia. Pertambahan ini relatif akan membuat struktur piramida penduduk didominasi warga lansia.
Akan tetapi, karakteristik penduduk lansia di masa depan relatif tidak sama dengan sebagian lansia yang ada saat ini. Pasalnya, lansia masa depan adalah penduduk usia produktif saat ini yang lebih terinformasi, melek teknologi, dan sebagainya serta cenderung sesuai dengan perubahan basis perekonomian menuju masyarakat informasi.
Sementara di sisi lain terdapat otomatisasi di sejumlah jenis pekerjaan. Hal ini membuat banyak pekerjaan konvensional hilang karena digantikan mesin dan membuat perubahan ekosistem ketenagakerjaan menjadi sebuah keniscayaan.
Dalam kaitan itulah, Ahmad Irsan A Moeis yang menulis disertasi berjudul An Inquiry Into a Just and Financially Sustainable Pension System: An Illustration with Indonesia’s Data menyebutkan, perluasan jenis-jenis pekerjaan mesti dilakukan. Menyandarkan solusi semata-mata pada jenis-jenis pekerjaan konvensional cenderung akan membawa pada titik keputusasaan.
Ia menambahkan, selama ini sistem meritokrasi dalam pasar tenaga kerja yang cenderung salah dipahami mestilah mulai dibenahi. Promosi dan demosi karier mestilah didasarkan atas produktivitas dan bukannya usia atau jender.
”Petakan (kemampuan) orang. Expand jenis pekerjaan,” ujar Irsan.
Dalam ringkasan disertasinya, Irsan menggarisbawahi tentang sistem pensiun yang berkeadilan dan berkelanjutan. Sisi berkelanjutan dicapai lewat sebagian pendapatan pekerja ditambah kontribusi pemberi kerja yang dikumpulkan dan dikelola negara atau lembaga yang ditunjuk untuk kelak dibayarkan sebagai biaya hari tua.
Menurut Irsan, perlu diterapkan ”usia pensiun sukarela” untuk memenuhi hak individu dalam menikmati hari tua. Akan tetapi, hal ini hanya bisa diberlakukan bagi pekerja produktif.
”Kendalanya, kasus klasik di negara berkembang (adalah) red tape (aturan resmi yang cenderung kaku). Regulasi kita belum siap,” kata Irsan.