Eksplorasi Keraton itu Belum Optimal
Sampai tiga tahun terakhir, sektor pariwisata masih mendominasi pendapatan asli daerah Pemerintah Kota (PAD Pemkot) Cirebon, yaitu 40 persen dari total PAD. Nilainya mencapai lebih dari Rp 80 miliar per tahun dari pendapatan pajak hotel dan restoran. Angka tersebut didominasi pajak hotel dan restoran.
”Destinasi utama wisata Cirebon masih keraton, diikuti wisata kuliner, dan destinasi religi. Peran destinasi keraton masih sangat kuat dan belum tergeser oleh jenis destinasi wisata lainnya,” kata Kepala Bidang Pariwisata Dinas Kepemudaan, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (DKOKP) Alimudin, Kamis (11/10/2018).
Ironisnya, menurut Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon PRA (Pangeran Raja Adipati) Arief Natadiningrat, dalam APBD Pemerintah Kota Cirebon, alokasi anggaran untuk sektor pariwisata paling rendah dibandingkan sektor lainnya.
”Selama ini tidak ada pelatihan dan pendampingan dari Pemkot Cirebon untuk pengembangan wisata keraton, dan baru tiga tahun terakhir para ahli waris keraton mendapat dana bantuan Rp 100 juta setiap tahun. Jumlah ini tentu saja masih jauh dari cukup,” kata Arief, Sabtu (13/10/2018).
Kepala Seksi Pengolahan Data Pariwisata Disporbudpar Kota Cirebon Mustofa SE pun mengakui, sektor pariwisata yang belum tergarap secara maksimal antara lain wisata keraton. Hal ini membuat waktu tinggal wisatawan dari luar kota Cirebon pendek, hanya 1-2 hari. Pembangunan sejumlah jalan tol untuk mempermudah wisatawan ke Cirebon belum diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan dan destinasi wisata, terutama wisata keraton.
Pengamatan Kompas, setiap akhir pekan, lalu lintas Kota Cirebon macet karena puluhan kendaraan yang membawa wisatawan. Lahan parkir untuk menampung kendaraan mereka minim. Petugas di lapangan, baik itu petugas satpol PP, dinas perhubungan, maupun polisi lalu lintas, juga nyaris tak terlihat. Meluapnya pedagang kaki lima (PKL), terutama pada akhir pekan, membuat sejumlah ruas jalan terokupasi. Jalanan bukan hanya macet, melainkan juga kumuh dan hiruk-pikuk.
Revitalisasi alun-alun
Mustofa mengakui, destinasi wisata keraton dan religi saat ini masih didominasi Keraton Kasepuhan dan Goa Sunyaragi. Pengamatan Kompas, hal ini tidak lepas dari sejumlah terobosan yang dilakukan pengelola kedua destinasi wisata tersebut, PRA Arief Natadiningrat.
Untuk memelihara sumber daya manusia, bermacam bangunan, dan fasilitas lainnya di lingkungan Keraton Kasepuhan, Arief membuat sejumlah sumber penghasilan, seperti tiket masuk, serta kerja sama dengan sejumlah instansi bisnis. Bermacam acara dan fasilitas wisata yang sebagian bertiket pun dibuat.
Awal Juni 2017, misalnya, Arief merehab total museum Keraton Kasepuhan. ”Sebelum ada museum ini, pengunjung Keraton Kasepuhan 20.000 orang per bulan. Dengan kehadiran museum ini, jumlah pengunjung saat ini menjadi 30.000 orang per bulan,” ucap Arief. Dana pemeliharaan untuk museum tersebut setiap bulan, lanjutnya, mencapai Rp 50 juta. ”Break even point (capaian titik kembali modal), lima belas tahun,” katanya.
Langkah lain yang sedang ia lakukan saat ini adalah menyulap alun-alun seluas 1,5 hektar di depan Keraton Kasepuhan menjadi taman budaya, edukasi, dan hiburan. ”Kami akan mendirikan patung pancuran Singa Barong di tengah alun alun. Kalau Singapura punya Merlion (ikan berkepala singa), Cirebon punya patung pancuran Singa Barong setinggi 6 meter,” ucapnya bangga.
Pembangunannya, kata Arief, menelan biaya Rp 10 miliar. Dana tersebut berasal dari dana CSR (corporate social responsibility) Bank Mandiri Syariah.”Konsepnya mirip pembangunan taman di areal Patung Pembebasan Irian di Jakarta Pusat, tetapi dengan memadukan unsur lokal Keraton Kasepuhan,” katanya.
Bersamaan dengan pembangunan patung pancuran singa barong tersebut, ”pasar mini” Teh Poci seluas 2.000 meter persegi yang berada di salah satu sudut alun alun akan dibongkar dan diperluas menjadi dua lantai. ”Kami bekerja sama dengan pihak PD Pasar Kota Cirebon. Perjanjian sudah ditandatangani, cetak birunya pun sudah dibuat, tinggal menunggu pelaksanaannya tahun depan,” kata Arief.
Direktur Utama PD Pasar Akhyadi, yang dihubungi terpisah, membenarkan. ”Insya Allah kami akan mulai membangun pada September tahun depan dengan biaya sekitar Rp 800 juta. Lantai dua akan kami bangun sebagai warung makan bermenu makanan Majakuning Ciayu (Majalengka, Kuningan, Cirebon, dan Indramayu). Lantai bawah untuk gerai penjual oleh-oleh dan cendera mata Majakuning Ciayu. Usulan sultan begitu,” kata Akhyadi.
Menurut dia, pihak Keraton Kasepuhan sepakat meminjamkan tanah keraton di lokasi ”pasar mini” tersebut secara gratis untuk menampung para PKL yang berada di sekeliling alun alun.
”Nanti lapak PKL di sekeliling alun-alun akan dibersihkan. Para PKL akan ditampung di Teh Poci. Pihak PD Pasar yang akan mengatur mereka. Jika jumlah PKL lebih banyak dari ruang yang tersedia, ya diseleksi berdasarkan kualitas jualannya. Cukup tidak cukup, PKL hanya akan ada di lokasi Teh Poci. Lingkungan depan Keraton Kasepuhan harus bersih dari PKL,” kata Arief.
Integrasi Kanoman
Seperti tak ingin tenggelam dalam bermacam terobosan yang dilakukan Arief, pengelola Keraton Kanoman pun berniat meremajakan Pasar Kanoman agar terintegrasi dengan wisata Keraton Kanoman. Tahun depan, 2019, Pasar Kanoman bakal diperluas.
”Investornya PT Hutama Raya dari Jakarta, bekerja sama dengan PD Pasar Kota Cirebon, dan pihak Keraton Kanoman. Sistemnya BOT (bangun, operasi, dan transfer) antara PD Pasar Kota Cirebon dan investor, sedangkan pihak Keraton Kanoman sebagai pemberi sewa tanah,” kata Akhyadi.
Wakil Kepala Pasar Kanoman Dedy Supriadi menambahkan, PD Pasar Kota Cirebon dan pihak Keraton Kanoman memiliki luas tanah masing-masing 1.400-an meter persegi. Menurut rencana, dua blok pasar akan digabung, dan diperluas. ”Jalan masuk dan keluar akan dibuat satu arah. Parkir kendaraan bermotornya bersistem elektronik,” ucap Dedy.
Juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina yang ditemui terpisah di Keraton Kanoman membenarkan. ”Tiga belah pihak sudah menandatangani kontrak rencana peremajaan dan perluasan Pasar Kanoman,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, Pasar Kanoman yang baru ini nantinya akan mengadopsi lingkungan Pasar Beringharjo, Yogjakarta, dan diperkaya. ”Penataan di Pasar Beringharjo bagus. Zonasi pasar basah dan pasar kering sudah dibuat terpisah, dan nyaman. Pasar Kanoman sekarang kan belum tertata seperti di Pasar Beringharjo,” ujar Arimbi.
Ia berharap, Pasar Kanoman yang baru nantinya bisa sekaligus menjadi pasar budaya Cirebon. ”Pasar bukan saja menyediakan segala hal yang tradisional seperti kuliner, oleh-oleh makanan ringan, cendera mata, dan kebutuhan umum, melainkan juga ada pertunjukan dan suasana yang khas Cirebon. Pasar bisa menjadi destinasi wisata yang terhubung dengan Keraton Kanoman. Jadi terintegrasi,” kata Arimbi.
Sejak tahun lalu, lanjutnya, pihak Keraton Kanoman sudah merintis pertunjukan setiap akhir pekan di halaman depan keraton. Pertunjukan tersebut berupa karawitan, teater, baca puisi, tari, ataupun pertunjukan musik lainnya.
”Digelar pada setiap Sabtu malam. Pertunjukannya bergantian antara yang modern dan yang klasik. Harapan saya, pertunjukan ini menghubungkan antara pariwisata di Pasar Kanoman dan di Keraton Kanoman,” kata Arimbi.
Ia berharap arsitektur dan lingkungan Pasar Kanoman yang baru nantinya menyesuaikan dengan lingkungan arsitektur dan budaya Keraton Kanoman. ”Pasar bisa sekaligus menjadi ruang edukasi selain memperkenalkan kekayaan Cirebon,” ucap Arimbi.
Jika Pasar Kanoman yang baru sesuai dengan yang diharapkan pihak Keraton Kanoman, pihak Keraton akan ikut menyajikan makanan khas Keraton Kanoman. ”Ada oreg bolong berisi kacang panjang dan oncom, ada yipi, yaitu sajian sate daging dengan bumbu keraton, wajik komplang berbahan beras, terigu, kismis, susu,dan minyak samin, serta sejumlah makanan ringan lainnya,” ujar Arimbi.
Menghidupkan Nadran
Semangat kemandirian yang bisa mendorong sektor pariwisata di Kota Cirebon bukan hanya dilakukan kalangan elite keraton, melainkan juga sebagian warga Cirebon. Warga Kecamatan Gunungjati, misalnya. Warga dari 15 desa di kecamatan tersebut setiap tahun menggelar acara Nadran dengan ratusan ider-ider (patung raksasa yang diarak dalam pawai, mirip ogoh-ogoh di Bali).
Acara yang digelar Minggu (23/9/2018), misalnya, dihadiri ribuan orang yang memadati Jalan Raya Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, hingga Jalan Siliwangi, Kota Cirebon, yang berjarak sekitar 4 kilometer. Inilah acara pawai Nadran atau sedekah laut terbesar di kawasan Ciayu Majakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), Jawa Barat.
”Ider-ider Peksi Naga Liman (makhluk berkepala gajah, berbadan naga, bersayap garuda) kami buat dengan biaya sendiri. Menghabiskan dana Rp 3 juta,” kata Adrianto (18), salah seorang pembuat ider-ider tersebut dari Desa Jatimerta.
Sementara warga di Blok Pekuncen, Desa Astana, membuat ider-ider Pangeran Adipati Keling. Adipati Keling adalah juru kunci makam pertama Makam Sunan Gunung Jati, wali penyebar agama Islam di Cirebon.
Sang Adipati mengenakan mahkota dan duduk di dalam singgasana dengan asap kemenyan di hadapannya. Tinggi ider-ider 4,8 meter dengan panjang mencapai 8 meter. Dari balik kendaraan yang membawa ider-ider terdengar rekaman selawatan.
”Biaya membuat ider-ider ini Rp 10 juta. Kami berdagang pakaian untuk mengumpulkan dana. Ada belasan warga mengerjakan ider-ider ini selama 1,5 bulan tanpa dibayar. Ini semua gotong royong,” ujar Syahron (25), bendahara panitia Blok Pekuncen.
Nasirudin, penasihat panitia Nadran, mengungkapkan, untuk acara tradisional nan kolosal ini, Pemkot Cirebon cuma menyumbang Rp 26 juta. Padahal, ”Kalau dihitung semuanya, biaya Nadran ini bisa mencapai miliaran rupiah yang sebagian besar berasal dari dana mandiri warga,” katanya.
Kabid Pemasaran Area I Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI Wawan Gunawan, saat memberi sambutan di Desa Astana, menyampaikan, acara ini termasuk dalam 100 acara budaya di Indonesia yang dipromosikan Kemenpar RI.
Sumber dana
Namun, di tengah berbagai geliat upaya menarik wisatawan itu, ada berbagai kendala klasik yang masih dihadapi di lapangan. Pengelola Keraton Kanoman dan Kacirebonan, misalnya, belum mampu menggali sumber-sumber dana untuk memelihara dan menghidupkan keraton dan lingkungannya sebagai obyek wisata keraton dan religi.
Belum terjadi hubungan produktif di antara para pengelola Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Nyaris tak ada koneksitas di antara ketiga pengelola keraton untuk membahas peningkatan pendapatan, pengelolaan acara ritual yang nyaman, menarik, sambil tetap menjaga suasana religius, secara bersama-sama.
Keraton Kanoman sebagai salah satu pusat bermacam acara tradisional religius yang mewakili “jiwa” Keraton Pakungwati (keraton Kesultanan Cirebon sebelum dipecah tiga), gagal mengoptimalkan bermacam kekayaan warisan budaya tersebut untuk tujuan wisata komersial, seperti yang sudah dicapai pengelola Keraton Kasepuhan.
Tiadanya semangat bahu membahu di antara para pengelola keraton ini tentu saja kurang menguntungkan. Padahal jika terjadi kesepakatan di antara para pengelola keraton ini, acara-acara tradisional ritual bisa dilakukan secara bersama dan atau bergantian.
Pengelola Keraton Kasepuhan yang memiliki kepiawaian mengelola dana pemeliharaan, dan mencari sumber sumber dana, bisa menularkan kepiawaiannya pada pengelola Keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan.
Arief mengatakan, jika berbicara pariwisata, seharusnya semua pemangku kepentingan, kompak bekerja. “Keraton, pemda, pengusaha, masyarakat, dinas dinas terkait seperti Parbud, Perhubungan, Kominfo, PUPR, Kebersihan dan Pertamanan, Tramtib, dan Bapedda harus terlibat dan berkoordinasi,” tegasnya.
Ia berharap Pemkot Cirebon memiliki cetak biru pariwisata, memiliki program pariwisata yang optimal, dan mendorong target kunjungan wisata yang jelas.